Sunday, December 20, 2009

Mengenang Sri Mulyani, Setahun Lalu

Tulisan di bawah ini berkisah tentang pidato Sri Mulyani di acara Investor Summit pada 25 November 2008. Empat hari sebelum acara tahunan itu, ia baru mengambil keputusan penting mem-bail out Bank Century. Saya baru tahu sekarang, ternyata kala itu Sri Mulyani sedang galau. Sehari sebelumnya, 24 November 2008, Sri Mulyani baru tahu kalau CAR (rasio kecukupan modal) Bank Century tiba-tiba merosot dari -2,35 persen menjadi -35 persen. Artinya, dana LPS akan jebol… dan akan bermasalah di kemudian hari. Masalah itu benar terjadi saat ini.

Kala itu, Sri Mulyani sedang galau. Tapi, simak saja pidatonya yang dibingkai dalam tulisan di Jawa Pos, 26 November 2008 ini. Sayang, saya gagal menemukan link arsipnya. Jadi, saya copy ulang saja.

Mimpi Itu Tak Pernah Berakhir
Jawa Pos, 26 November 2008

Investor Summit tahun ini menjadi ”istimewa” karena berlangsung di tengah kelesuan pasar modal. Suasana kemarin berbeda dengan tahun lalu yang menjadi masa emas bagi pelaku pasar. Ini memang pegelaran yang menginginkan agar investor tetap percaya menanamkan uangnya di investasi portofolio.

Meski digelar di tengah kelesuan, acara tetap berlangsung meriah. Seribu lebih pengunjung yang hadir, tetap setia mengikuti acara dari pagi hingga petang. Pengunjung rela berdiri mendengarkan pidato kunci Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Diskusi sesi siang bersama Deputi Gubernur BI Hartadi A. Sarwono juga masih dipadati peserta. Ini berbeda dengan tahun lalu, di mana sesi siang selalu sepi pengunjung.

Sejumlah emiten juga masih menyemarakkan acara tahunan ini. Tak kurang dari 20 emiten menyampaikan paparan publik kemarin dan hari ini (26/11). Lebih dari 30 emiten juga membuka stan pameran.

Dalam pidato kuncinya, Menkeu meledek banyaknya peserta Investor Summit kemarin sebagai naluri manusia yang sedang gelisah. “Semua memang sedang pengin bersama-sama,” kata Menkeu disambut tawa pengunjung yang hadir.

Sri Mulyani menyadari suasana batin para investor kini masih tak menentu. ”Saat semua yang ada di sini menikmati gain (keuntungan) di atas 50 persen tahun lalu, kemudian sekarang harus berkurang 50 persen, itu memang sesuatu yang painful,” kata Ani, sapaan Sri Mulyani. Untuk itu, dia meminta investor tetap percaya kepada langkah penyelamatan yang diambil pemerintah.

Menkeu meyakinkan pelaku pasar bahwa pemerintah terus melihat realitas, merespons akurat, serta fokus kepada tanggung jawab. ”Ini bukan suasana mudah, tapi saya yakin, dengan konsentrasi terhadap apa yang dihadapi, saya akan menyampaikan jujur apa yang bisa, telah, dan akan lakukan. Dan saya meminta dukungan.”

Menkeu melanjutkan, “Saya tidak bisa memberikan apa-apa. If you trust me, I will not betrayed your trust. Saya akan mengambil keputusan dengan rasional, sering juga dengan hati yang harus dibeningkan. Buat saya, selama memegang jabatan ini, saya meletakkan seluruh reputasi, harga diri, dan pertaruhan saya,” kata Ani, lalu kembali disambut tepuk tangan pengunjung. Ani juga menjamin bahwa dirinya akan melaksanakan tugas sebagai Menkeu hingga akhir masa jabatan.

Bagi Menkeu, kepercayaan dan kebersamaan sangat dibutuhkan dalam mengatasi krisis. Dia lalu mengingatkan investor saat penutupan bursa tahun lalu. Kala itu, semua investor gembira karena harga saham melonjak tinggi. Usai menutup perdagangan waktu itu, Ani menyanyikan lagu yang dipopulerkan Diana Ross.
”If we hold on together…”.

”Saat muka Bapak Ibu senang, saya masih ingat menyanyikan lagu itu. Artinya, kita tetap harus bersama. Jika kita bisa seperti itu, kita bisa seperti bait berikutnya,” Menkeu lalu menyanyikan baris berikutnya. ”I know our dreams will never die..”. (sof/eri)
Selengkapnya...

Sunday, July 19, 2009

Bom Lagi

17 Juli 2009
Hari ini kita dikejutkan lagi dengan ledakan bom di Ritz Carlton dan JW Mariott, dua hotel favorit para ekspat. Meski kerap terjadi pemboman di tanah air, tetap saja membuat kita terkejut. Lebih kaget lagi kalau anda sudah bersusah payah beli tiket MU, akhirnya harus gigit jari karena mereka batal ke sini.
Sekitar jam 9 pagi, saya mendapat informasi kalau Pak Beye segera ke lokasi pengeboman. Saya pun meluncur ke Mega Kuningan, dengan jasa abang ojek dekat kontrakan saya. Sambil memacu motornya, si abang ojek menyorongkan pisau analisisnya. ”Paling itu Prabowo mas,” ujar abang ojek.

Saya tak ingin banyak menanggapi. Saya lebih awas memperhatikan hape, siapa tahu ada perubahan jadwal dari Pak Beye. Benar saja. Pas di mulut Mega Kuningan, masuk lagi SMS ke hape saya, mengabarkan kalau Pak Beye tak jadi ke lokasi. Pak Beye langsung ngomong di Istana.

Sampai di Istana, ternyata Pak Beye sedang menggelar rapat mendadak. Ada Pak Widodo Menko Polhukam yang sudah datang lebih dulu. Pak Hatta Mensesneg, Pak Sudi Menseskab, dan Pak Nuh Menkominfo juga sudah datang. Pak BHD Kapolri datang belakangan. Pak Djoko Panglima masih di Magelang. Nanti agak siang baru datang.
Sudah hampir jam 11, rapat belum mulai. Tempat konpers dipindah ke luar, pas di lapangan rumput. Mulanya menggunakan latar Istana Merdeka. Eh, black light. Diubah lagi dengan latar belakang Istana Negara. Rapat dimulai sekitar 11.15. Nah, sudah mau jumatan. Menjelang jumat, Bang Andi Jubir mengabarkan konpers baru digelar jam 14, setelah jumatan.

Sehabis salat jumat, saya merapalkan doa paling kilat. Cuma doa pengin selamat dunia akhirat amien saja. Eh, Pak Beye sudah jalan keluar masjid. Saya harus pakai kaus kaki dan sepatu, Pak Beye langsung pakai sandal. Pak Beye salat di baris depan, Saya di baris belakang. Tapi, selesainya tetap lebih cepat Pak Beye. Cepat amat ya doanya Pak?

Sehabis jumatan dan makan siang, saya ngobrol dan becanda sejenak dengan kawan-kawan wartawan. Banyak yang kami obrolkan. Mulai dari perdebatan pemeran Megan Fox di Transformer RoF itu laki-laki atau perempuan, sampai mereka-reka apa yang mau diungkapkan Pak Beye. Sambil, meniru gaya khasnya tentu.

Sampai akhirnya, kami melihat Pak Nuh sudah keluar ruang rapat, menuju lapangan yang akan dipakai konpers. Oh iya, set podiumnya sudah diubah lagi. Kali ini, set latarnya Kantor Presiden. (Buat yang belum tahu bedanya Istana Merdeka, Istana Negara, dan Kantor Presiden, nanti saya bikinkan tulisan khusus. Tapi nanti banget ya, Saya juga belum genap dua minggu liputan di Istana. Masih untung deskripsi di atas tidak keliru. Hehe)

Sampai mana tadi? Pak Nuh. Oh iya Pak Nuh. Dari jauh saya sudah melihat Pak Nuh komat-kamit. Waduh, bisa kebobolan berita ini. Saya bergegas mendekat ke Pak Nuh. Dan sayup-sayup.. “Teve yang live berapa. TV One dan TVRI. SCTV kok enggak live?”. Oh, ternyata Pak Nuh cuma mengecek berapa teve yang live. Lalu, Pak Nuh masuk lagi ke ruang rapat.

Setelah Pak Nuh, Bang Andi mengecek lagi kesiapan kami, terutama teve. Lalu, Pak Djoko datang dengan tiga kepala staf angkatannya. Mereka berempat gagah sekali. Maklum, mereka baru ada acara di Magelang. Jadi masih pakai seragam paling lengkap. Sehabis Pak Djoko datang, Pak Beye akhirnya keluar.
Ternyata, apa yang dipidatokan Pak Beye benar-benar di luar dugaan saya. Pak Beye langsung menyebut aksi bom sebagai teroris. ”Meskipun belum tentu jaringan terorisme yang kita kenal selama ini,”. Pikiran saya langsung ke pisau analisa abang ojek tadi...

Lalu Pak Beye menyebut ancaman kekerasan pasca Pilpres. Di tengah-tengah pidato, Pak Beye bergumam, “foto-foto”, lalu salah satu ajudan mengambil empat lembar foto dari dalam ruang rapat. Pak Beye lalu memamerkan foto-foto itu. Bukan sulap, bukan sihir. Eh, bukan gosip bukan isu. Begitu kata Pak Beye. Itu foto latihan perang-perangan. Sasarannya bukan sebarangan, foto Pak Beye.

Praktis, konpers Pak Beye tentang bom, justru didominasi dengan buka-bukaan tentang ancaman Pemilu. Bahkan, mengutuk pengebom pun dengan cara yang mengagetkan. ”Barangkali, ada di antara kita, yang di waktu yang lalu melakukan kejahatan, membunuh, menghilangkan orang barangkali, dan para pelaku itu masih lolos dari jeratan hukum, kali ini negara tidak boleh membiarkan mereka menjadi drakula, dan penyebar maut di negeri kita.”

Waduh, lalu apa hubungannya dengan bom? Apa benar pisau analisis abang ojek tadi? Sampai akhirnya, di teve, Pak BHD bilang kalau kemungkinan kuat ada indikasi bom bunuh diri. Nah lo. Mana ada orang kecewa jagonya kalah di Pemilu sampai mau ngebom diri? Tim sukses yang kalah, mana mau disuruh ngebom diri? Kali ini, saya yakin seyakin-yakinnya, analisis abang ojek pasti salah...

Semoga Pak BHD bisa cepat bisa mengungkap. Katanya, pengebom sempat menginap. Kalau menginap, pasti susah memasukkan bahan bom. Harus sedikit demi sedikit. Ada yang bilang, paling tidak harus menginap 3 hari untuk bisa memasukkan semua bahan bom. Kalau menginap tiga hari, pasti butuh duit tak sedikit. Membayar tunai untuk menginap tiga hari di Mariott juga tak umum. Karena, depositnya pasti bisa berlipat dibanding tarif tiga malam. Masak menginap di Mariott tak pakai kartu kredit?

Atau, oke lah bayar pakai tunai. Masih ada copy KTP atau Paspor kalau kita menginap di hotel manapun. KTP bisa dipalsu? Bisa didatangi pemalsu KTP, kan polisi juga sudah tahu jaringannya? Jadi, lebih cepat lebih baik lah Pak. Asal jangan lebih cepat mengeruhkan suasana..
Selengkapnya...

Friday, July 10, 2009

Pamer Telepon

Malam itu (9/7), pendopo rumah Pak Beye masih terus didatangi banyak tamu. Maklum. Ada gula, ada semut. Kekuasaan membuat banyak orang menyemut. Eh. Ada rombongan dari organisasi pemuda berinisial KNPI. Mereka pengin mengucap selamat, tapi tak kunjung dapat giliran. Tiba-tiba, salah satu dari mereka minta diwawancara televisi. Dan jadilah. Mungkin kunjungan itu tak penting bagi dia. Yang penting nampang di teve dan menunjukkan kalau sudah mendukung Pak Beye.

Ah, televisi. Masih di malam itu, tiba-tiba Choel Mallarangeng, pentolan Fox Indonesia, mengetok-ngetok pengeras suara di pendopo. Lagaknya seperti teknisi speaker. Tiba-tiba, "Dalam dua menit ke depan, presiden terpilih akan memberi keterangan pers. Breaking news. Teve yang bawa SNG, siapkan dalam dua menit untuk live. Akan ada surprise. Surprise pokoknya. Sangat layak untuk breaking news," kata Choel, dengan suara baritonnya. Kali ini, ia berlagak seperti produser berita televisi.

Satu menit, dua menit, tiga menit, empat menit,.. ah, Pak Beye akhirnya muncul di pendopo. Pak Boed yang baru tiba di Jogja mengekor di belakang, sambil menunduk takzim. Pak Beye tak langsung ngomong. Masih senyum-senyum membingungkan. Lantas, dia menyambar telepon genggamnya, dan...

"Apa kabar Pak Jusuf?"...

(oh, ternyata JK di seberang sana)

"Terima kasih, terima kasih"

(wah, JK mengucap selamat ya)

"Sebagaimana yang kita bicarakan, walaupun dalam suasana kompetisi,tetap kita jalin silaturahmi. Kita beri contoh, lanjutkan pelaksanaan tugas. Kita bertugas untuk langkah selanjutnya ke depan. Tadi saya sampaikan, sidang kabinet paripurna Selasa aktif lagi kerja sampai 20 Oktober. Pak Jusuf, sejarah catat jasa Anda besar sekali, teruskan apa yang menjadi amanah kita berdua. Insya Allah ada jalannya. Negara masih membutuhkan Pak JK, apa pun peran Pak Jusuf nanti. Kami menunggu sesuai dengan pilihan Pak JK. Saya senang Pak JK kalau masih bisa mendarmabaktikan diri untuk negara. Kita bicarakan berdua nanti. Sampai ketemu, salam untuk keluarga"

Wah, ini yang kasih selamat siapa, yang ngomong banyak siapa ya? Seumur-umur, baru kali ini saya menyaksikan orang bertelepon disiarkan live melalui televisi. Kalau direkam lalu disiarkan, sudah biasa. Hah.
Selengkapnya...

Thursday, July 2, 2009

Polesan Amerika

Raden Pardede, sampai berlari kecil di lobi hotel Bali Intercontinental. Tahu Raden kan? Ia Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan, pernah jadi calon (penggembira) Gubernur BI bersama Dirut Mandiri Agus Martowardojo yang akhirnya ditolak parlemen. Kini ia ikut riwa-riwi kampanye Cawapres Boediono.

Raden mengejar Rizal Mallarangeng, konsultan politik dari Fox Indonesia yang bertugas memoles Cawapres Boediono. Ia adik Andi Mallarangeng. Kakaknya Choel Mallarangeng, pentolan Fox Indonesia, lembaga paling berkuasa di republik ini, karena bisa mengatur-atur presiden.

"Cel!", teriak Raden. Ia tak berucap apa-apa selain memanggil Celi, sapaan Rizal. Tapi, tangannya menarik bajunya sendiri. Dalam hati ia pengin bilang, "Ganti kausnya Cel". Ya. Celi memang ingin konpers di depan banyak kamera televisi. Tapi, ia sedang pakai kaus dengan bendera Amerika Serikat yang tersablon jelas.

"Gua ganti dulu ya. Masak kalian tega ambil gambar gua pakai ini," ujar Celi kepada kameraperson televisi. Haha. Ia takut juga disangka terlalu ke Amerika-amerikaan. Maklum, Fox Indonesia banyak mengadopsi kampanye gaya Amerika di kampanye-kampanye SBY dan Boediono.

***
Dengan gaya Amerika, kampanye tak perlu massa besar. Cukup sewa ruangan tertutup berkapasitas 1.000 orang. Peserta kampanye diatur, dipoles. Posternya juga sudah diseragamkan. Kampanye ala itu, cukup mengandalkan media, terutama televisi.

Tak hanya itu, Fox juga menjadi konsultan politik yang mengatur semua tetek bengek kampanye. Tak heran, jika partai-partai pendukung SBY-Boediono mulai tak nyaman dengan cara ini. Bayangkan. Petinggi-petinggi parpol, kini saat kampanye, kerjaannya hanya datang dan dipajang. Untuk ke bandara saja, mereka harus menunggu perintah si konsultan-konsultan itu.....

Eh, ada lagi yang mirip-mirip Amerika. Saat Boediono kampanye, ada lima anggota kepolisian yang didandani pakaian serbahitam, kacamata hitam, lengkap dengan earphone kecil di salah satu telinga. Lagaknya sudah melebihi Paspampres, dan kelihatan sekali pengin mirip Secret Service. "Ah, paling kalau ketemu Paspampres beneran juga mengkeret," kata rekan saya.
Selengkapnya...

Baliberalisme

"Bali adalah contoh sukses bagaimana kita menghadapi dan memanfaatkan globalisasi"
Cawapres Boediono meneriakkan itu dalam kampanyenya di Denpasar, Bali, Minggu (28/6). Ia beralasan, meski banyak orang asing berdatangan, Bali tetap mampu mempetahankan budaya dan tradisi.

Soal mempertahankan tradisi, Bali memang jagonya. Tapi apa benar itu menjadi indikator kesuksesan menghadapi globalisasi? Bagi saya, Bali, justru satu simbol kegagalan globalisasi dalam meninggikan keadilan. Bali juga menjadi contoh telanjang dari neoliberalisme.

Memang, banyak turis asing datang ke Bali. Banyak dolar yang mereka belanjakan di pulau yang indah itu. Kita pun kalau datang ke Bali juga tak ragu menguras isi dompet. Tapi, rakyat Bali hanya mereguk sedikit. Hotel-hotel berbintang, dikuasai asing. Begitu juga tempat hiburan. Rakyat Bali? Kebanyakan hanya menjadi pekerja kelas bawah. Mereka melihat kenikmatan dengan mata telanjang, tapi tak bisa turut mengecapnya. Saat kita membayar ratusan ribu untuk makan, hanya sebagian kecil yang mengalir ke rakyat Bali. Jadi, mana yang disebut sukses?

Tadi siang, saya makan siang di Hotel Bali Intercontinental, ditraktir tim kampanye Boediono. Saya pesan menu "beef rendang". Lidah saya langsung berontak saat mencicip rendang itu. Tak sedap bumbunya. Lalu saya menoleh, dan tahu kalau sang chef adalah seorang bule. Hah, masak rendang saja kok harus pake chef bule!

O iya. Sebelum makan, di lobi, saya cari colokan listrik untuk laptop. Duh, colokannya bukan standar Indonesia...
Selengkapnya...

Sunday, June 21, 2009

Bersama Saya, Indonesia Jauh Lebih Baik*

Insya Allah, 8 Juli nanti saya akan memilih Capres No 3.
Tulisan (berisi pidato imajiner) ini memang pro Capres No 2. Saya sengaja membuat tulisan dengan sudut pandang yang berseberangan dengan pilihan politik saya. Buat pendukung Capres No 1 dan 3, silakan mendebat tulisan ini. Jika argumentasi Anda masih kurang pas, akan tetap saya sanggah:) Tulisan ini dibuat, agar bagi pendukung No 1 dan 3, benar-benar mantap menentukan pilihannya. Tulisan ini mengandaikan Saya adalah SBY.


Bersama Saya, Indonesia Jauh Lebih Baik*

Saudara-Saudara, sebangsa dan setanah air,

Sebagai Capres incumbent, saya mendapatkan serangan bertubi-tubi dari banyak pihak. Banyak hal negatif ditudingkan kepada saya. Memang, saat musim kampanye, isu sensitif banyak diungkap. Mulai dari utang, modal asing, hingga isu yang lebih banyak bersifat jargon dan pelabelan seperti neoliberalisme vs ekonomi kerakyatan. Saya hanya ingin menjelaskan semuanya apa adanya. Serta, mendudukkan masalah pada tempatnya.

Banyak yang menyerang saya dengan isu utang. Memang benar, selama masa kepemimpinan saya, jumlah utang secara nominal lebih besar dibanding pemerintahan sebelumnya. Tapi, perkenankan saya menjelaskannya. Penambahan utang selama pemerintahan saya, bukan berasal dari utang luar negeri. Utang luar negeri yang neto kita, jauh lebih kecil dibandingkan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Sejak 2004, utang luar negeri yang kita tarik, jauh lebih kecil dibanding yang kita bayarkan. Sehingga, di APBN, utang luar negeri kita negatif. Tahun 2004 negatif Rp 28 triliun, 2005 negatif Rp 10 triliun, 2006 negatif Rp 27 triliun, 2007 negatif Rp Rp 24 triliun, 2008 negatif Rp 11 triliun, dan 2009, Insya Allah negatif Rp 14 triliun.

Jadi, penambahan utang kita lebih banyak dari Surat Berharga Negara (SBN). Sejak 2005, SBN memang menjadi instrumen utama pembiayaan APBN. Sebagian kalangan bertanya, mengapa jumlahnya begitu besar? Bukankah bunganya, yang akan menjadi beban pemerintah, bisa jauh lebih mencekik? Sekali lagi, perkenankanlah saya untuk menjelaskan juga, duduk masalahnya.

Memang, saya akui, jumlah SBN yang kita terbitkan cukup besar. Tapi, pemerintah telah berusaha seefisien mungkin, secermat mungkin, menghitung, semua beban utang yang bisa kita tanggung. Kalau kita lihat, penerbitan SBN kita jauh meningkat pada 2008 dan 2009. Pada 2008 kita menerbitkan neto Rp 85,9 triliun dan 2009 Rp 54,7 triliun. Penerbitan kita cukup besar, karena kita perlu me-refinancing obligasi-obligasi kita. Mungkin kita masih ingat, pada tahun 1998, di masa Pak Habibie, penerbitan obligasi (untuk rekap bank) mencapai Rp 100 triliun. Itu harus kita bayar pada 2008 sekarang. Jadi, kita membutuhkan banyak dana untuk refinancing obligasi kita itu. Kita juga masih ingat, tahun 2000, di era Ibu Mega, kita menerbitkan obligasi yang lebih besar, yakni Rp 150 triliun. Itu ada yang utang jangka pendek. Alhamdulillah kita berhasil menjadwalkan kembali di tahun 2000, untuk dialihkan di 2008 dan 2009, dan kita bayar. Itu beban dari krisis 1997-1998 yang kita tanggung bersama hingga sekarang.
Sebagian kita bayar dengan obligasi, tapi dengan jangka yang lebih panjang, bahkan hingga 30 tahun ke depan. Anda bayangkan, utang Rp 1 juta sekarang, tidak akan ada nilainya pada 30 tahun mendatang. Jadi tidak benar, jika kita dianggap terlalu mengobral penerbitan obligasi negara. Justru, kita mengelolanya dengan lebih baik, dan yang paling penting, transparan.

Saudara-saudara. Ke depan, pembiayaan dari utang memang lebih kita arahkan dari penerbitan Surat Berharga Negara. Karena apa? Karena itu lebih mencerminkan potensi dalam negeri kita. Memang, dana swasta asing juga besar. Tapi masih lebih besar dana-dana masyarakat yang disimpan di bank, asuransi, dan dana pensiun. Itu dana rakyat kita yang dipinjamkan ke negara, kita manfaatkan untuk pembangunan, dan manfaatnya kembali kepada rakyat kita.

Banyak yang bilang, bunga utang melalui obligasi kelewat besar. Tapi nanti dulu. Bunga yang kita bayarkan memang lebih besar dibandingkan utang luar negeri. Tapi biaya yang kita pikul, baik secara ekonomis maupun politis, jauh lebih kecil. Secara politis, kita tidak lagi didikte oleh negara kreditur. Secara ekonomis, biaya utang jauh lebih efisien. Meski bunga lebih tinggi, tapi kita bisa menggunakan dana itu, sesuai dengan prioritas pembangunan kita. Berbeda dengan utang proyek luar negeri. Kita tahu, utang semacam itu, yang dikembangkan di pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, mensyaratkan proyek tertentu yang disetujui kreditur. Pemberi pinjaman juga menentukan siapa pelaksana proyeknya, teknologinya, alat-alatnya, serta sumber daya manusianya. Jadi, begitu kita mengutang Rp 100 misalnya, uang itu sudah langsung kembali ke negara kreditur dalam bentuk pembelian produk mereka, menggaji konsultan dari mereka, dan sebagainya. Akibatnya, biaya tidak terkontrol oleh kita, tenaga kerja dari kita tidak cukup besar terserap, dan anak-anak negeri kita tidak bisa mengaplikasikan teknologinya. Alhamdulillah, sejak 2007, utang proyek kita jauh berkurang. Kalaupun utang dari luar negeri, kita lebih memilih utang program, yakni utang yang tidak didasarkan pada proyek tertentu. Sekali lagi, pengelolaan utang kita, jauh lebih efisien, dan jauh lebih transparan.

Saudara-saudara. Ada yang bilang, kita lebih pro asing. Saya tidak habis pikir dengan ungkapan itu. Bahwa kita, sejak jaman mantan presiden Soeharto menganut ekonomi terbuka, sehingga membuat asing leluasa masuk, memang benar. Tapi justru di bawah kepemimpinan saya, segalanya diatur jelas. Ada Daftar Negatif Investasi. Itu daftar yang membatasi setiap pemodal asing dengan porsi yang kita inginkan. Kita yang mengatur. Bukan mereka. Ada sektor-sektor yang bisa dimasuki asing, ada pula yang tidak. Sektor strategis seperti telekomunikasi misalnya, kita batasi hingga 65 persen, tak boleh lebih. Transportasi, kita batasi tak boleh lebih dari 51 persen. Aturannya jelas.

Hal penting lain, yang membuat mengapa kita harus melanjutkan kerja keras kita bersama, adalah, kita harus terus menjamin terlaksananya tatakelola pemerintahan yang baik. Tatakelola itu bukan hanya angan-angan. Ia harus dilaksanakan oleh orang yang berani, tegas, serta bebas dari konflik kepentingan. Reformasi birokrasi telah kita jalankan. Misalnya, kita semua tahu, di tubuh Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai, dua instansi yang bertugas menjamin penerimaan negara tercapai maksimal, telah terjadi revolusi senyap di sana. Strukturnya dirombak. Sumber daya manusianya dibenahi. Penyalahgunaan wewenang, meski kita tidak menutup mata masih ada bolong di sana-sini, sudah jauh, jauh berkurang. Itu pulalah yang membuat penerimaan negara jauh meningkat dibanding pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Peningkatan penerimaan negara ini, adalah kunci kemandirian bangsa. Omong kosong jika kita ingin membuat bangsa mandiri, tapi aparat-aparatnya tidak dibenahi.

Saudara-saudara. Bangsa ini sudah berada dalam jalur yang tepat untuk bangkit. Memang tak bisa langsung memenuhi keinginan semua kalangan. Tapi fondasi untuk bangkit telah kita bangun. Dan kita, akan melanjutkannya bersama. Semoga Allah merahmati kita semua.
*Pidato Imajiner SBY.
Selengkapnya...

Sunday, January 18, 2009

Korban Jepang

Ini bukan pengalaman moyang saya yang susah makan saat dijajah Jepang. Bukan. Ini kisah saya yang stres harus menembus macet di Jalan Sudirman. Macet? Apa hubungannya dengan Jepang?

---
Sepanjang jalan, saya menyumpahi kepenatan. Pening, dan asam mulai berpencar dari lambung, lapar. Selepas magrib, petang itu, saya berangkat dari kantor pusat Departemen Keuangan, kawasan Lapangan Banteng. Mestinya, cukup 45 menit menuju Kantor pusat Ditjen Pajak, Jalan Gatot Subroto, tujuan saya. Tapi, hampir 2 jam saya dikentuti asap bus kota, mencari celah sempit, berkompetisi dengan motor lain, dan bersaing dengan mobil.

Mengeluhkan kemacetan di Jakarta, hampir selalu berujung percakapan sia-sia. Berbagai macam solusi ditawarkan, tapi macet tak kunjung berkurang. Jalur 3 in 1, menambah koridor busway, hingga memaksa anak sekolah berangkat lebih pagi. Semua percuma. Kenapa? Karena jumlah kendaraan bermotor yang tak pernah surut. Mengapa bisa terjadi? Karena industri otomotif tak ingin penjualannya turun satu persen pun.

Saya tak bisa menyalahkan kaum berpunya yang sanggup membeli mobil. Karena kenyataannya, pemerintah tak sanggup menyediakan transportasi massal yang nyaman dan aman. Adit kawan saya, baru saja dijambret di bus kota. Tas milik Agus, teman saya yang lucu, disilet copet. Sayatannya cukup rapi. Beruntung dia cukup sigap, communicator dan dompetnya selamat.

Di titik ini lah saya merasa menjadi korban Jepang. Saya mengutuki kenapa Soeharto terlalu banyak berutang ke sana. Separo dari utang luar negeri kita yang lima ratusan triliun itu, berasal dari Jepang. Banyak pula dari Bank Pembangunan Asia (ADB), yang saham terbesarnya dipunyai Jepang.

Bunga utang mungkin tak seberapa. Tapi, proyek pembangunan kita, mesti mengabdi kepentingan mereka. Jadi, jangan harap tahun 1970-an silam kita langsung membangun transportasi massal solusi kemacetan.

Semahal apapun biaya memperlebar jalan raya, tetap dilakukan. Biarpun membebaskan tanah untuk membangun jalan tol itu susahnya bukan main, arah investasi tetap ke sana. Membangun jalan raya Itu prioritas. Karena tak mungkin utang Yen digunakan untuk membangun sesuatu yang mematikan investasi Jepang.

Semuanya demi Toyota, Daihatsu, Mitsubishi, Honda, Yamaha, Suzuki, dan kawan-kawannya. General Motor, Mercedes-Benz, Hyundai, dan pabrikan non Jepang memang ikut menikmati. Tapi, berapa sih porsi buat mereka. Jadi, proyek jalan tol harus terus dibangun. Kalau mangkrak, solusi dibahas hingga tingkat presiden. Tapi, membangun transportasi massal? Serahkan saja ke Pemda masing-masing.

Sudahlah, saya pening. Besok juga masih macet lagi. Dan 3,5 tahun tinggal di Jakarta, sudah membuat saya terbiasa. Akhirnya saya sampai ke Kantor Ditjen Pajak. Dengan khidmat saya mendengarkan Darmin Nasution, Dirjen jujur, tambun, dan lucunya mirip boneka beruang Teddy itu. Sampai pada satu kalimat, "... diharapkan yang sudah punya NPWP, mau mengisi SPT-nya dengan benar di bulan Maret nanti."

Itu kata-kata yang acap saya dengar dari mulut Darmin. Tapi malam itu, pikiran saya kembali menewawang jauh. Kenapa pajak punya bulan unik, Maret? Saya baru ingat, kala orde baru, APBN baru dimulai April, bukan Januari seperti sekarang. Kenapa? Karena, Jepang memulai tahun anggarannya April. Halah!

Tiba waktu makan malam. Saya sudah tak berselera makan di situ. Buru-buru, saya pacu Honda Supra X buatan 2005. (*)
Selengkapnya...

Saturday, January 10, 2009

Menjemput Ajal

Ia masih kuat bertahan. Meskipun sudah terendam air hingga tersisa hidung mancungnya untuk menghirup oksigen. Kakinya kokoh mencengkeram jeruji. Kusiram lagi kepalanya, ia berenang sebentar, muncul kembali ke permukaan. Kuat sekali.

***
Kami tinggal di sebuah rumah petak yang lumayan bersih. Tapi tikus-tikus itu memang hanya peduli pada sumber makanan. Siapa bilang tikus tak suka tempat bersih. Dia akan tinggal di mana saja. Bersih, jorok, asal ada suplai logistik yang cukup.

Sialnya, kulkas di rumah tak cukup besar untuk menyimpan semua makanan. Ada satu lemari kecil penyimpan makanan, tapi entah dengan ilmu apa, mungkin kursus turun temurun, tikus itu mampu menembus lemari yang tertutup rapat. Paginya, ayam goreng berkurang satu. Tak hanya makanan basah. Tikus-tikus itu juga kerap menjarah stok mie sedap. Modusnya sangat rapi. Ia membuat lubang kecil di salah satu ujung bungkus plastik. Saat saya kelaparan ingin makan mie sedap, ketika dibuka, tiba-tiba isinya tinggal separuh. Oh iya, tikus itu juga sudah memusnahkan satu sepatu pesta milik Vian. Memang tidak dilalap habis. Tapi dengan dua gigitan kecil saja, sudah membuat siapapun malu memakai sepatu itu di kondangan kampung sekalipun.

Akhirnya kami memutuskan perang total terhadap tikus. Tapi berbulan-bulan hanya jadi wacana. Yang ada hanya diskusi tentang strategi apa yang paling tepat untuk memusnahkan tikus itu. Vian mengusulkan diracun. Saya tidak setuju. Selain matinya lama, setelah tewas, kita tak kan pernah tahu di mana bangkainya. Kalau bangkainya berserakan di atas atap dan di tempat-tempat sulit, itu akan jadi masalah baru. Saya paling tak tahan bau bangkai, dan juga enggan mencari sumber bau anyir itu dan membuangnya. Sampai suatu saat ketika jalan-jalan di ITC, saya melihat racun tikus mati kering. Dalam hati saya berteriak, nah ini dia!. Mati kering artinya tak kan bau bangkai. "Dibohongin tukang jual aja mau, sebelum kering ya jadi bangkai dulu," Nah, kini Vian yang tak setuju, dan mungkin dalam hatinya berbisik, "Ah, oon sekali".

Alternatif lain dengan menggunakan perangkap. Saya menentang. "Itu hanya akan efektif menangkap satu tikus, setelah itu yang lain akan mengambil pelajaran berharga," saya mulai berteori. Lagipula, ketika sudah terperangkap, saya tak membayangkan bagaimana membunuhnya. Begitu dikeluarkan dari perangkap, pasti dengan gesit tikus itu akan lari.

Begitu lah yang terjadi. Kami berdebat berbulan-bulan, tapi tikus-tikus itu beraksi kongkret menjarah apapun yang tersisa di luar. Kerap tempat sampah terguling dan mereka mengacak-acak sampah sisa makanan. Akhirnya kami memutuskan membeli lem tikus. Saya berpikir, kalau sudah lengket, buang saja di tempat sampah, hidup atau mati. Gampang.

Lem tikus pun terpasang, lengkap dengan umpan ikan asin. Belum juga tidur, saya mendengar suara gaduh di dapur. Nah kena, saya pikir. Begitu keluar kamar, ikan asin sudah lenyap, tapi lem tikus itu tak cukup kuat menahan mamalia itu. Gagalnya lem tikus itu telah meruntuhkan moral berburu tikus.

***
Sebulan berselang, kabar tentang banyaknya tikus itu mampir ke telinga Ibu Haji Wawa, orang terkaya di RT, yang sekaligus Ibu kontrakan kami. Dia yang perfeksionis, tak terima juga kalau rumah miliknya menjadi sarang tikus. Dia memberi bantuan kongkret, perangkap tikus. Nah lo, bukannya itu tak efektif jika didasarkan pisau analisisku? "Nanti dicuci bersih perangkapnya kalau sudah ketangkap. Tikus lain tak akan membaui temennya di perangkap itu," kata Ibu kontrakan. Masuk akal pikirku. Lantas, bagaimana membunuhnya? "Masukkan ke air". Ibu kontrakanku jenius.

***
Kami baru memutuskan memerangkap tikus keesokan harinya. Kecapekan dan malas menggoreng ikan asin untuk umpan. Saya mendebat, tak perlu digoreng juga bisa. Tapi sudahlah, akhirnya ditentukan perang terhadap tikus baru dimulai keesokan harinya. Perangkap itu ditaruh begitu saja di dapur. Pagi-pagi, vian teriak-teriak membuyarkan tidurku yang kurang. "Ada siti! siti!". Siti itu sebutan yang biasa dia pakai untuk si tikus. Dan memang, tanpa secuil umpan pun, ada 3 tikus yang tengah panik terperangkap. Bagaimana bisa tanpa umpan? Tak ada waktu berdiskusi. Sekarang bagaimana caranya membunuh dan membuang tikus itu.

Teori Ibu kontrakan pun diterapkan. Di kamar mandi, saya siapkan ember berisi air. Memindahkan perangkap itu ke ember bukan hal mudah. Karena tikus-tikus itu tak takut manusia. Dia mengancam tanganku saat memegang perangkapnya. Akhirnya harus pakai pengait. Dua pulpen souvenir dari BNI pun akhirnya jadi alat memindah perangkap. Bles.. seeert, ternyata embernya kekecilan. Saya ambil ember terbesar yang ada di rumah. Ternyata masih juga tak bisa bikin tenggelam. Masih ada kurang dari setengah sentimeter bagian atas perangkap yang tak terendam air. Dengan pintar tiga tikus itu bergelantungan sehingga moncong hidungnya muncul di permukaan. Kusiram kepalanya berkali-kali, ia berenang sebentar, muncul kembali. Kuat sekali.

Sampai akhirnya ada gerakan tak terduga, satu tikus berhasil menghentak pintu perangkap itu sampai terlepas! Satu tikus kabur. Sial. Saya menjadi ganas. "Barbel.., mana barbel..". Saya ambil barbel seberat 2kg itu saya menaruhnya di atas perangkap. Aman. Saya siram lagi kepalanya biar segera tenggelam dan mati. Tak tega juga saya membuatnya lama menderita. Satu tikus akhirnya jatuh ke dasar perangkap, tapi ekornya masih bergerak, dan... ternyata dia menemukan jalan keluar dari bawah. Seharusnya pintu bawah sudah terkunci. Dia keluar perangkap, saya berteriak panik, tikus itu berenang sampai permukaan ember, dan loncat keluar. Saya bersumpah tak kan kehilangan tikus lagi. Terpaksa tikus yang keluar harus dipukul. Kamar mandi saya tutup. Ambil sapu. Saya coba pukul dengan gagang sapu. Sasaran tak kena, sapu yang patah. Saya benar-benar berubah menjadi sosok yang sadis. Saya ambil pisau, tapi keder juga karena ngeri kalau harus ada darah muncrat. Saya masuk kamar mandi lagi, menimbang situasi. Saya naik ke atas pinggiran bak mandi karena takut tikus itu menyerang kaki. Sejurus kemudian saya melihat, vixal!. Dengan kalap saya ambil cairan mematikan itu, saya guyur ke kepala tikus itu. Tikus itu masih bisa lari, tapi akhirnya mulai lemas, tapi tak juga mati. Saya tak ingin menyiksanya lama-lama, dan bismillaahirrahmaanirrahim. Prak! Prak! Prak! Saya pukul kepalanya tiga kali dengan gagang pengepel lantai. Kali ini tikus itu yang mati, gagang pengepel masih utuh.

***
Masih satu tikus di perangkap yang ditenggelamkan di ember. Saya guyur lagi dengan air. Saya benci kenapa tak punya ember lebih besar sehingga tak butuh waktu lama untuk membunuhnya. Atau, jika perangkapnya lebih kecil, dengan mudah bisa ditenggelamkan. Saya benar-benar putus asa. Akhirnya, saya berkesimpulan kepalanya tak cukup hanya disiram air. Akhirnya saya menyiram dengan wipol, cairan pembersih yang lebih ringan dari vixal. Kenapa bukan vixal? Cairan pembersih porselen itu sudah habis untuk membunuh tikus yang sebelumnya. Karena wipol memang tak terlalu mematikan, tikus itu masih lama bertahan. Dia terus berenang, muncul lagi. Saya siram, berenang lagi, muncul lagi. Begitu terus sampai lebih dari sepuluh menit saya menyiram dengan wipol. Hingga akhirnya, saya melihat pemandangan yang membuat merinding. Tikus itu mulai bergerak tak teratur dan makin panik. Ia yang biasa berenang timbul tenggelam dengan seakan berirama, kini mulai berenang dan timbul dengan cepat. Makin cepat, makin panik, dan, tikus itu tenggelam, tak muncul lagi. Saya baru saja menyaksikan sakaratul maut sang tikus. Pikiran saya melayang ke mana-mana. Membayangkan saya yang tak bisa berenang, tenggelam di laut lepas dengan gerakan-gerakan panik seperti tikus tadi. Saya benar-benar melihat muka tikus itu saat menjemput ajalnya. Tikus itu juga melihat muka saya, saat terakhir ia muncul di permukaan, dan tenggelam.

Besok saya bertekad membeli perangkap yang lebih kecil, agar bisa memasukkannya langsung ke ember tanpa ada udara, biar tak ada kesempatan buatku menyaksikan sakaratul maut sang tikus. Hari ini, seorang manusia penguasa tertinggi atas rantai makanan, telah mengikuti hukum alam dengan membasmi 2 ekor tikus. Mungkin, 1 ekor lagi yang lepas sedang mengorganisasikan teman-temannya, melancarkan aksi balasan. Mungkin.
Selengkapnya...

Thursday, January 8, 2009

Lupakan Musa

Saya tidak mengajak mengingkari Musa utusan Allah. Tapi, tidak menyertakan segala epik para nabi di kitab suci dalam perundingan, diplomasi, dan diskusi tentang konflik di tanah Palestina, adalah cara paling sederhana menuju jalan damai.

Menyertakan kisah Musa, apalagi ditarik ke lebih lampau ke epik Ibrahim, hanya membuat jalan damai menjadi buntu. Itu hanya membuat kita mengikuti alur berpikir Theodor Herzl dan penggagas zionisme lainnya. Itu juga akan mengajak tiga agama monotheis salingberkonflik satu sama lain. Artinya lagi, itu hanya menjadikan Yahudi, Kristen, dan Islam, tiga agama paling berpengaruh di peradaban bumi ini, menjadi bahan tertawaan.

Konflik Palestina tak akan menemui jalan damai jika zionis Israel bersikukuh tanah itu adalah Tanah yang dijanjikan. Konflik juga tak akan berhenti, jika Hamas dan gerakan rakyat Palestina lain menarik garis sejarah Umar Al Faruk Khalifah Islam telah merebut tanah itu dari cengkeraman Romawi, pihak yang juga pernah menghancurkan bangsa Israel dari tanah Palestina.

Artinya, silakan zionis mengimani Tanah yang Dijanjikan. Tapi itu juga bukan alasan membunuh dan mengusir orang yang sudah menempati tanah itu. Tentara Israel harus segera menarik mundur pasukannya.

Jalan damai memang bukan hal yang mudah. Tapi jangan menggunakan sikap pesimis karena konflik sudah terjadi berabad-abad sejak Ibrahim. Melihat konflik Palestina kini, harus dengan kacamata sekarang. Caranya, dengan melihat kedaulatan sebuah negara dengan perspektif tatanan dunia pasca perang dunia I dan II. Tatanan dunia pasca penjajahan barat itu menggunakan kesamaan pola. Yakni, pertama, rakyatnya sendiri yang merebut kemerdekaannya (sangat jarang, Indonesia termasuk yang mengklaim seperti itu). Kedua, memberikan kedaulatan penuh. Ketiga, menjadikannya sebagai negara persemakmuran.

Jadi, TIDAK PERNAH terjadi di tatanan itu, ada penjajah (Inggris) yang memfasilitasi bangsa lain (zionis Israel) untuk menduduki bekas jajahannya (tanah Palestina). Jadi kenapa Inggris memberi jalan zionis untuk menguasai bekas jajahannya, itulah pertanyaan yang harus terus dilontarkan. Apa kepentingan negara-negara barat bekas penjajah itu, dengan memberi jalan zionis mendeklarasikan negara baru Israel setelah perang besar 1948?. Melihat tahun 1948, tentu lebih mudah dibanding melihat jaman Ibrahim, Musa, Yeremiah, Muhammad, dan Umar Al Faruk.

Jadi, pilihannya tinggal dua. Menarik garis di tahun 1948, atau ke horizon setelah perang 1968. Jika menarik garis 1948, itu artinya kita menggugat berdirinya negara Israel. Secara teoritis dan praktik, itu hanya seperti menegakkan benang basah, mustahil. Hal paling mungkin adalah menarik ke garis 1968.

Jika menarik ke garis 1948, negara yang terbayangkan adalah, Palestina merdeka, tanpa Israel. Itu sebenarnya mungkin, karena Hamas setuju tidak akan mengusir bangsa Yahudi yang telanjur berdatangan ke negeri itu, asal Palestina merdeka dan tidak ada negara Israel. Kompensasinya, pengungsi Palestina yang terusir dari negerinya juga kembali. Mungkin kita membayangkan Palestina penuh sesak tanpa sumber daya alam berarti. Tapi itu jauh lebih baik dibandingkan peperangan sampai hari akhir.

Itu adalah gambaran terindah. Palestina merdeka. Meski tak ada negara Israel, toh bangsa Yahudi juga bisa kembali ke Tanah yang Dijanjikan. Yahudi mau berkuasa? Ya menangkan Pemilu. Negeranya tetap Palestina. Tapi Israel tak pernah mau dengan opsi itu. Sudah berdiri negara yang diimpikan moyangnya, tak mungkin mereka lepas begitu saja. Jika pengungsi Palestina berdatangan, mereka juga tak kan jadi mayoritas lagi. Lagipula, agama apapun bisa masuk ke Islam dan Kristen. Sementara, kita tak kan pernah diterima memeluk agama Yahudi. Dengan teori demokrasi yang diagungkan banyak orang, mereka akan kalah.

Terpaksa, kita akui berdirinya negara Israel. Tapi wilayahnya kembali ke sebelum perang 1968. Itu adalah hal yang paling mungkin. Artinya, negara Palestina tak akan sesempit dan terisolir seperti saat ini. Meskipun, nanti akan ada satu ganjalan baru, siapa pemilikYerusalem. Di sini lah benang kusutnya. Israel tak pernah mau menggunakan logika demokrasi.

Palestina merdeka menghendaki Yerusalem merupakan wilayah kekuasaannya, karena mayoritas di sana adalah Islam dan Kristen. Tapi lagi-lagi karena Tanah yang Dijanjikan, Israel terus ingin menjadikan Yerusalem sebagai ibukota negaranya, dibanding TelAviv yang sudah diakui sebagian negara lain.

Jadi, jalan damai memang masih jauh. Tapi simpul-simpul masalahnya sudah jelas, tidak serumit yang dibayangkan jika kita mengingat-ngingat kisah Nabi Musa. Dan jalan mengurai simpul masalah itu adalah dengan berunding dan membuat PBBberdaya. Jika tidak berdaya, sebagaimana di ekonomi ada IMF dan World Bank juga tidak berdaya, butuh tatanan dunia baru yang lebih mencerminkan kondisi kini.

Butuh kekuatan bilateral dan regional untuk menekan agar jalan damai terwujud. Kekuatan lain adalah kemanusiaan. Jika seluruh rakyat dunia bersuara, meskipun pemimpin-pemimpinnya tak mengambil sikap, itu juga amat berguna.

Dan stop mencela-cela agama dan mengatakan tragedi itu tak akan pernah berakhir. Melakukan yang kita bisa, meski kecil, itu lebih baik dibanding sikap skeptis. Jadi, kalau anda bisa mengakses internet ini, anda pasti punya cukup uang untuk mendukung misi Dr. Jose Rizal dkk yang kini melaksanakan misi kemanusiaan di sana. Dukung misi MER-C ke Palestina, ketik MERC PEDULI kirim ke 7505 (donasi Rp 6.600/sms). Anda juga bisa menyalurkan ke lembaga lain
Selengkapnya...