Ia masih kuat bertahan. Meskipun sudah terendam air hingga tersisa hidung mancungnya untuk menghirup oksigen. Kakinya kokoh mencengkeram jeruji. Kusiram lagi kepalanya, ia berenang sebentar, muncul kembali ke permukaan. Kuat sekali.
***
Kami tinggal di sebuah rumah petak yang lumayan bersih. Tapi tikus-tikus itu memang hanya peduli pada sumber makanan. Siapa bilang tikus tak suka tempat bersih. Dia akan tinggal di mana saja. Bersih, jorok, asal ada suplai logistik yang cukup.
Sialnya, kulkas di rumah tak cukup besar untuk menyimpan semua makanan. Ada satu lemari kecil penyimpan makanan, tapi entah dengan ilmu apa, mungkin kursus turun temurun, tikus itu mampu menembus lemari yang tertutup rapat. Paginya, ayam goreng berkurang satu. Tak hanya makanan basah. Tikus-tikus itu juga kerap menjarah stok mie sedap. Modusnya sangat rapi. Ia membuat lubang kecil di salah satu ujung bungkus plastik. Saat saya kelaparan ingin makan mie sedap, ketika dibuka, tiba-tiba isinya tinggal separuh. Oh iya, tikus itu juga sudah memusnahkan satu sepatu pesta milik Vian. Memang tidak dilalap habis. Tapi dengan dua gigitan kecil saja, sudah membuat siapapun malu memakai sepatu itu di kondangan kampung sekalipun.
Akhirnya kami memutuskan perang total terhadap tikus. Tapi berbulan-bulan hanya jadi wacana. Yang ada hanya diskusi tentang strategi apa yang paling tepat untuk memusnahkan tikus itu. Vian mengusulkan diracun. Saya tidak setuju. Selain matinya lama, setelah tewas, kita tak kan pernah tahu di mana bangkainya. Kalau bangkainya berserakan di atas atap dan di tempat-tempat sulit, itu akan jadi masalah baru. Saya paling tak tahan bau bangkai, dan juga enggan mencari sumber bau anyir itu dan membuangnya. Sampai suatu saat ketika jalan-jalan di ITC, saya melihat racun tikus mati kering. Dalam hati saya berteriak, nah ini dia!. Mati kering artinya tak kan bau bangkai. "Dibohongin tukang jual aja mau, sebelum kering ya jadi bangkai dulu," Nah, kini Vian yang tak setuju, dan mungkin dalam hatinya berbisik, "Ah, oon sekali".
Alternatif lain dengan menggunakan perangkap. Saya menentang. "Itu hanya akan efektif menangkap satu tikus, setelah itu yang lain akan mengambil pelajaran berharga," saya mulai berteori. Lagipula, ketika sudah terperangkap, saya tak membayangkan bagaimana membunuhnya. Begitu dikeluarkan dari perangkap, pasti dengan gesit tikus itu akan lari.
Begitu lah yang terjadi. Kami berdebat berbulan-bulan, tapi tikus-tikus itu beraksi kongkret menjarah apapun yang tersisa di luar. Kerap tempat sampah terguling dan mereka mengacak-acak sampah sisa makanan. Akhirnya kami memutuskan membeli lem tikus. Saya berpikir, kalau sudah lengket, buang saja di tempat sampah, hidup atau mati. Gampang.
Lem tikus pun terpasang, lengkap dengan umpan ikan asin. Belum juga tidur, saya mendengar suara gaduh di dapur. Nah kena, saya pikir. Begitu keluar kamar, ikan asin sudah lenyap, tapi lem tikus itu tak cukup kuat menahan mamalia itu. Gagalnya lem tikus itu telah meruntuhkan moral berburu tikus.
***
Sebulan berselang, kabar tentang banyaknya tikus itu mampir ke telinga Ibu Haji Wawa, orang terkaya di RT, yang sekaligus Ibu kontrakan kami. Dia yang perfeksionis, tak terima juga kalau rumah miliknya menjadi sarang tikus. Dia memberi bantuan kongkret, perangkap tikus. Nah lo, bukannya itu tak efektif jika didasarkan pisau analisisku? "Nanti dicuci bersih perangkapnya kalau sudah ketangkap. Tikus lain tak akan membaui temennya di perangkap itu," kata Ibu kontrakan. Masuk akal pikirku. Lantas, bagaimana membunuhnya? "Masukkan ke air". Ibu kontrakanku jenius.
***
Kami baru memutuskan memerangkap tikus keesokan harinya. Kecapekan dan malas menggoreng ikan asin untuk umpan. Saya mendebat, tak perlu digoreng juga bisa. Tapi sudahlah, akhirnya ditentukan perang terhadap tikus baru dimulai keesokan harinya. Perangkap itu ditaruh begitu saja di dapur. Pagi-pagi, vian teriak-teriak membuyarkan tidurku yang kurang. "Ada siti! siti!". Siti itu sebutan yang biasa dia pakai untuk si tikus. Dan memang, tanpa secuil umpan pun, ada 3 tikus yang tengah panik terperangkap. Bagaimana bisa tanpa umpan? Tak ada waktu berdiskusi. Sekarang bagaimana caranya membunuh dan membuang tikus itu.
Teori Ibu kontrakan pun diterapkan. Di kamar mandi, saya siapkan ember berisi air. Memindahkan perangkap itu ke ember bukan hal mudah. Karena tikus-tikus itu tak takut manusia. Dia mengancam tanganku saat memegang perangkapnya. Akhirnya harus pakai pengait. Dua pulpen souvenir dari BNI pun akhirnya jadi alat memindah perangkap. Bles.. seeert, ternyata embernya kekecilan. Saya ambil ember terbesar yang ada di rumah. Ternyata masih juga tak bisa bikin tenggelam. Masih ada kurang dari setengah sentimeter bagian atas perangkap yang tak terendam air. Dengan pintar tiga tikus itu bergelantungan sehingga moncong hidungnya muncul di permukaan. Kusiram kepalanya berkali-kali, ia berenang sebentar, muncul kembali. Kuat sekali.
Sampai akhirnya ada gerakan tak terduga, satu tikus berhasil menghentak pintu perangkap itu sampai terlepas! Satu tikus kabur. Sial. Saya menjadi ganas. "Barbel.., mana barbel..". Saya ambil barbel seberat 2kg itu saya menaruhnya di atas perangkap. Aman. Saya siram lagi kepalanya biar segera tenggelam dan mati. Tak tega juga saya membuatnya lama menderita. Satu tikus akhirnya jatuh ke dasar perangkap, tapi ekornya masih bergerak, dan... ternyata dia menemukan jalan keluar dari bawah. Seharusnya pintu bawah sudah terkunci. Dia keluar perangkap, saya berteriak panik, tikus itu berenang sampai permukaan ember, dan loncat keluar. Saya bersumpah tak kan kehilangan tikus lagi. Terpaksa tikus yang keluar harus dipukul. Kamar mandi saya tutup. Ambil sapu. Saya coba pukul dengan gagang sapu. Sasaran tak kena, sapu yang patah. Saya benar-benar berubah menjadi sosok yang sadis. Saya ambil pisau, tapi keder juga karena ngeri kalau harus ada darah muncrat. Saya masuk kamar mandi lagi, menimbang situasi. Saya naik ke atas pinggiran bak mandi karena takut tikus itu menyerang kaki. Sejurus kemudian saya melihat, vixal!. Dengan kalap saya ambil cairan mematikan itu, saya guyur ke kepala tikus itu. Tikus itu masih bisa lari, tapi akhirnya mulai lemas, tapi tak juga mati. Saya tak ingin menyiksanya lama-lama, dan bismillaahirrahmaanirrahim. Prak! Prak! Prak! Saya pukul kepalanya tiga kali dengan gagang pengepel lantai. Kali ini tikus itu yang mati, gagang pengepel masih utuh.
***
Masih satu tikus di perangkap yang ditenggelamkan di ember. Saya guyur lagi dengan air. Saya benci kenapa tak punya ember lebih besar sehingga tak butuh waktu lama untuk membunuhnya. Atau, jika perangkapnya lebih kecil, dengan mudah bisa ditenggelamkan. Saya benar-benar putus asa. Akhirnya, saya berkesimpulan kepalanya tak cukup hanya disiram air. Akhirnya saya menyiram dengan wipol, cairan pembersih yang lebih ringan dari vixal. Kenapa bukan vixal? Cairan pembersih porselen itu sudah habis untuk membunuh tikus yang sebelumnya. Karena wipol memang tak terlalu mematikan, tikus itu masih lama bertahan. Dia terus berenang, muncul lagi. Saya siram, berenang lagi, muncul lagi. Begitu terus sampai lebih dari sepuluh menit saya menyiram dengan wipol. Hingga akhirnya, saya melihat pemandangan yang membuat merinding. Tikus itu mulai bergerak tak teratur dan makin panik. Ia yang biasa berenang timbul tenggelam dengan seakan berirama, kini mulai berenang dan timbul dengan cepat. Makin cepat, makin panik, dan, tikus itu tenggelam, tak muncul lagi. Saya baru saja menyaksikan sakaratul maut sang tikus. Pikiran saya melayang ke mana-mana. Membayangkan saya yang tak bisa berenang, tenggelam di laut lepas dengan gerakan-gerakan panik seperti tikus tadi. Saya benar-benar melihat muka tikus itu saat menjemput ajalnya. Tikus itu juga melihat muka saya, saat terakhir ia muncul di permukaan, dan tenggelam.
Besok saya bertekad membeli perangkap yang lebih kecil, agar bisa memasukkannya langsung ke ember tanpa ada udara, biar tak ada kesempatan buatku menyaksikan sakaratul maut sang tikus. Hari ini, seorang manusia penguasa tertinggi atas rantai makanan, telah mengikuti hukum alam dengan membasmi 2 ekor tikus. Mungkin, 1 ekor lagi yang lepas sedang mengorganisasikan teman-temannya, melancarkan aksi balasan. Mungkin.
hidup hanya sekali. agar tak ragu dengan yang kita pilih, berbuatlah salah berkali-kali.
Saturday, January 10, 2009
Menjemput Ajal
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment