Ini bukan pengalaman moyang saya yang susah makan saat dijajah Jepang. Bukan. Ini kisah saya yang stres harus menembus macet di Jalan Sudirman. Macet? Apa hubungannya dengan Jepang?
---
Sepanjang jalan, saya menyumpahi kepenatan. Pening, dan asam mulai berpencar dari lambung, lapar. Selepas magrib, petang itu, saya berangkat dari kantor pusat Departemen Keuangan, kawasan Lapangan Banteng. Mestinya, cukup 45 menit menuju Kantor pusat Ditjen Pajak, Jalan Gatot Subroto, tujuan saya. Tapi, hampir 2 jam saya dikentuti asap bus kota, mencari celah sempit, berkompetisi dengan motor lain, dan bersaing dengan mobil.
Mengeluhkan kemacetan di Jakarta, hampir selalu berujung percakapan sia-sia. Berbagai macam solusi ditawarkan, tapi macet tak kunjung berkurang. Jalur 3 in 1, menambah koridor busway, hingga memaksa anak sekolah berangkat lebih pagi. Semua percuma. Kenapa? Karena jumlah kendaraan bermotor yang tak pernah surut. Mengapa bisa terjadi? Karena industri otomotif tak ingin penjualannya turun satu persen pun.
Saya tak bisa menyalahkan kaum berpunya yang sanggup membeli mobil. Karena kenyataannya, pemerintah tak sanggup menyediakan transportasi massal yang nyaman dan aman. Adit kawan saya, baru saja dijambret di bus kota. Tas milik Agus, teman saya yang lucu, disilet copet. Sayatannya cukup rapi. Beruntung dia cukup sigap, communicator dan dompetnya selamat.
Di titik ini lah saya merasa menjadi korban Jepang. Saya mengutuki kenapa Soeharto terlalu banyak berutang ke sana. Separo dari utang luar negeri kita yang lima ratusan triliun itu, berasal dari Jepang. Banyak pula dari Bank Pembangunan Asia (ADB), yang saham terbesarnya dipunyai Jepang.
Bunga utang mungkin tak seberapa. Tapi, proyek pembangunan kita, mesti mengabdi kepentingan mereka. Jadi, jangan harap tahun 1970-an silam kita langsung membangun transportasi massal solusi kemacetan.
Semahal apapun biaya memperlebar jalan raya, tetap dilakukan. Biarpun membebaskan tanah untuk membangun jalan tol itu susahnya bukan main, arah investasi tetap ke sana. Membangun jalan raya Itu prioritas. Karena tak mungkin utang Yen digunakan untuk membangun sesuatu yang mematikan investasi Jepang.
Semuanya demi Toyota, Daihatsu, Mitsubishi, Honda, Yamaha, Suzuki, dan kawan-kawannya. General Motor, Mercedes-Benz, Hyundai, dan pabrikan non Jepang memang ikut menikmati. Tapi, berapa sih porsi buat mereka. Jadi, proyek jalan tol harus terus dibangun. Kalau mangkrak, solusi dibahas hingga tingkat presiden. Tapi, membangun transportasi massal? Serahkan saja ke Pemda masing-masing.
Sudahlah, saya pening. Besok juga masih macet lagi. Dan 3,5 tahun tinggal di Jakarta, sudah membuat saya terbiasa. Akhirnya saya sampai ke Kantor Ditjen Pajak. Dengan khidmat saya mendengarkan Darmin Nasution, Dirjen jujur, tambun, dan lucunya mirip boneka beruang Teddy itu. Sampai pada satu kalimat, "... diharapkan yang sudah punya NPWP, mau mengisi SPT-nya dengan benar di bulan Maret nanti."
Itu kata-kata yang acap saya dengar dari mulut Darmin. Tapi malam itu, pikiran saya kembali menewawang jauh. Kenapa pajak punya bulan unik, Maret? Saya baru ingat, kala orde baru, APBN baru dimulai April, bukan Januari seperti sekarang. Kenapa? Karena, Jepang memulai tahun anggarannya April. Halah!
Tiba waktu makan malam. Saya sudah tak berselera makan di situ. Buru-buru, saya pacu Honda Supra X buatan 2005. (*)
hidup hanya sekali. agar tak ragu dengan yang kita pilih, berbuatlah salah berkali-kali.
Sunday, January 18, 2009
Korban Jepang
Labels:
Jepang,
Macet,
Transportasi,
Utang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment