Thursday, January 8, 2009

Lupakan Musa

Saya tidak mengajak mengingkari Musa utusan Allah. Tapi, tidak menyertakan segala epik para nabi di kitab suci dalam perundingan, diplomasi, dan diskusi tentang konflik di tanah Palestina, adalah cara paling sederhana menuju jalan damai.

Menyertakan kisah Musa, apalagi ditarik ke lebih lampau ke epik Ibrahim, hanya membuat jalan damai menjadi buntu. Itu hanya membuat kita mengikuti alur berpikir Theodor Herzl dan penggagas zionisme lainnya. Itu juga akan mengajak tiga agama monotheis salingberkonflik satu sama lain. Artinya lagi, itu hanya menjadikan Yahudi, Kristen, dan Islam, tiga agama paling berpengaruh di peradaban bumi ini, menjadi bahan tertawaan.

Konflik Palestina tak akan menemui jalan damai jika zionis Israel bersikukuh tanah itu adalah Tanah yang dijanjikan. Konflik juga tak akan berhenti, jika Hamas dan gerakan rakyat Palestina lain menarik garis sejarah Umar Al Faruk Khalifah Islam telah merebut tanah itu dari cengkeraman Romawi, pihak yang juga pernah menghancurkan bangsa Israel dari tanah Palestina.

Artinya, silakan zionis mengimani Tanah yang Dijanjikan. Tapi itu juga bukan alasan membunuh dan mengusir orang yang sudah menempati tanah itu. Tentara Israel harus segera menarik mundur pasukannya.

Jalan damai memang bukan hal yang mudah. Tapi jangan menggunakan sikap pesimis karena konflik sudah terjadi berabad-abad sejak Ibrahim. Melihat konflik Palestina kini, harus dengan kacamata sekarang. Caranya, dengan melihat kedaulatan sebuah negara dengan perspektif tatanan dunia pasca perang dunia I dan II. Tatanan dunia pasca penjajahan barat itu menggunakan kesamaan pola. Yakni, pertama, rakyatnya sendiri yang merebut kemerdekaannya (sangat jarang, Indonesia termasuk yang mengklaim seperti itu). Kedua, memberikan kedaulatan penuh. Ketiga, menjadikannya sebagai negara persemakmuran.

Jadi, TIDAK PERNAH terjadi di tatanan itu, ada penjajah (Inggris) yang memfasilitasi bangsa lain (zionis Israel) untuk menduduki bekas jajahannya (tanah Palestina). Jadi kenapa Inggris memberi jalan zionis untuk menguasai bekas jajahannya, itulah pertanyaan yang harus terus dilontarkan. Apa kepentingan negara-negara barat bekas penjajah itu, dengan memberi jalan zionis mendeklarasikan negara baru Israel setelah perang besar 1948?. Melihat tahun 1948, tentu lebih mudah dibanding melihat jaman Ibrahim, Musa, Yeremiah, Muhammad, dan Umar Al Faruk.

Jadi, pilihannya tinggal dua. Menarik garis di tahun 1948, atau ke horizon setelah perang 1968. Jika menarik garis 1948, itu artinya kita menggugat berdirinya negara Israel. Secara teoritis dan praktik, itu hanya seperti menegakkan benang basah, mustahil. Hal paling mungkin adalah menarik ke garis 1968.

Jika menarik ke garis 1948, negara yang terbayangkan adalah, Palestina merdeka, tanpa Israel. Itu sebenarnya mungkin, karena Hamas setuju tidak akan mengusir bangsa Yahudi yang telanjur berdatangan ke negeri itu, asal Palestina merdeka dan tidak ada negara Israel. Kompensasinya, pengungsi Palestina yang terusir dari negerinya juga kembali. Mungkin kita membayangkan Palestina penuh sesak tanpa sumber daya alam berarti. Tapi itu jauh lebih baik dibandingkan peperangan sampai hari akhir.

Itu adalah gambaran terindah. Palestina merdeka. Meski tak ada negara Israel, toh bangsa Yahudi juga bisa kembali ke Tanah yang Dijanjikan. Yahudi mau berkuasa? Ya menangkan Pemilu. Negeranya tetap Palestina. Tapi Israel tak pernah mau dengan opsi itu. Sudah berdiri negara yang diimpikan moyangnya, tak mungkin mereka lepas begitu saja. Jika pengungsi Palestina berdatangan, mereka juga tak kan jadi mayoritas lagi. Lagipula, agama apapun bisa masuk ke Islam dan Kristen. Sementara, kita tak kan pernah diterima memeluk agama Yahudi. Dengan teori demokrasi yang diagungkan banyak orang, mereka akan kalah.

Terpaksa, kita akui berdirinya negara Israel. Tapi wilayahnya kembali ke sebelum perang 1968. Itu adalah hal yang paling mungkin. Artinya, negara Palestina tak akan sesempit dan terisolir seperti saat ini. Meskipun, nanti akan ada satu ganjalan baru, siapa pemilikYerusalem. Di sini lah benang kusutnya. Israel tak pernah mau menggunakan logika demokrasi.

Palestina merdeka menghendaki Yerusalem merupakan wilayah kekuasaannya, karena mayoritas di sana adalah Islam dan Kristen. Tapi lagi-lagi karena Tanah yang Dijanjikan, Israel terus ingin menjadikan Yerusalem sebagai ibukota negaranya, dibanding TelAviv yang sudah diakui sebagian negara lain.

Jadi, jalan damai memang masih jauh. Tapi simpul-simpul masalahnya sudah jelas, tidak serumit yang dibayangkan jika kita mengingat-ngingat kisah Nabi Musa. Dan jalan mengurai simpul masalah itu adalah dengan berunding dan membuat PBBberdaya. Jika tidak berdaya, sebagaimana di ekonomi ada IMF dan World Bank juga tidak berdaya, butuh tatanan dunia baru yang lebih mencerminkan kondisi kini.

Butuh kekuatan bilateral dan regional untuk menekan agar jalan damai terwujud. Kekuatan lain adalah kemanusiaan. Jika seluruh rakyat dunia bersuara, meskipun pemimpin-pemimpinnya tak mengambil sikap, itu juga amat berguna.

Dan stop mencela-cela agama dan mengatakan tragedi itu tak akan pernah berakhir. Melakukan yang kita bisa, meski kecil, itu lebih baik dibanding sikap skeptis. Jadi, kalau anda bisa mengakses internet ini, anda pasti punya cukup uang untuk mendukung misi Dr. Jose Rizal dkk yang kini melaksanakan misi kemanusiaan di sana. Dukung misi MER-C ke Palestina, ketik MERC PEDULI kirim ke 7505 (donasi Rp 6.600/sms). Anda juga bisa menyalurkan ke lembaga lain

No comments:

Post a Comment