Aku sudah kembali ke Jakarta. Tak ada yang istimewa di Palembang, karena aku tak sempat menjejak di Jembatan Ampera dan menikmati Sungai Musi.
Pembicaraan dengan temanku dan mantan kekasihnya di Palembang, masih berlanjut. Dia berkisah kenapa harus berhenti menjalin kasih dengan gadis itu. "Setiap alur, kisah, mekanisme, atau apa pun, selalu punya "rem tersendiri". Dadaku hampir sesak dengan kata-kata itu.
"Ada kalanya dia menjebol, tapi lantas berhenti setelah menjebol. Ada kalanya ia terdesak, tapi lantas muak, kemudian menjebol saat terus terdesak,". Karibku itu benar-benar bikin aku tersedak.
"Seperti itulah, aku percaya, apa pun itu, melulu menjanjikan batas. Karena itu, yo sumeleh saja menjalani hidup. Aku rindu mantan teman dekatku itu, tapi ada batas, kena auto rejection dari apa yang kujalani hari ini. Tapi gak papa. Hidup memang menawarkan alternatif, yang tak terepresentasi dari kehidupan kita saat ini. Goenawan Mohamad menyebutnya "Sang Antah". Dia selalu memanggil, tapi saat itu pula dia berpaling.."
Kawanku itu tak sedang menasehatiku. Dia bercerita tentang hidupnya sendiri. Tapi ulu hatiku serasa ditusuk, dalam. Otakku, terasa diremas..
Tapi temanku itu mengirim pesan lagi. Pesan yang membangkitkan. Yang membuatku masih ingin menjaga mimpi, meski hanya segenggam. Lantas menggantungnya, dan akan kuraih nanti, entah kapan..
"Hidup itu sederhana. Pasti ada suatu asa yang memanggil, sesuatu yang tak terwakili dalam kehidupan kita saat ini. Biarkan itu mengalir. Jangan anggap sebagai utopia, karena utopia membuat kita lesu. Tapi, ya harus tetap sumeleh. Temanku pernah bertanya, apa manusia itu hanya pasrah dengan takdir Tuhan?; hanya taken for granted?. Kujawab tidak. Sumeleh iya, tapi itu harus diikuti luapan semangat. Bagiku, kita harus hidup "kepasrahan yang aktif". Dengan begitu, hidup pun terus jalan lagi; lengkap dengan luka, juga harapan.. Dengan itu pula kita menyadari, hidup ini punya batas, punya "remnya tersendiri".. Utopia memang tak mewujud secara riil, tapi ia sesungguhnya mewujud di hati: Ia sesuatu yang berharga.."
Kini temanku itu tengah bersiap berkemas. Meninggalkan Jakarta, kembali ke kota kecil impiannya. Ke tempat di mana tak ada lagi yang berpaling..
hidup hanya sekali. agar tak ragu dengan yang kita pilih, berbuatlah salah berkali-kali.
Friday, October 24, 2008
Memanggil Lalu Berpaling
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment