"Kamu cari apa sih?," tanya temanku.
"Tak tahu," jawabku sambil terus memilah-milah tumpukan jerami itu.
"Apa warnanya? Bentuknya?," cecar temanku.
"Entah" aku makin acuh menjawab. Jerami itu makin berserak.
"Bagaimana bisa menemukan yang dicari, kalau kamu tak tahu?," tanya temanku lagi.
"Aku baru tahu yang kucari, jika sudah menemukannya."
Selengkapnya...
hidup hanya sekali. agar tak ragu dengan yang kita pilih, berbuatlah salah berkali-kali.
Tuesday, November 25, 2008
Mencari
Thursday, November 13, 2008
Mencaci Diri
Peristiwa kini adalah akibat yang lalu. Saat hari ini memburuk, pantaskah menyalahkan yang silam? Layakkah menista yang sudah? Tidak. Dan kita mencari beribu macam alasan agar hari ini tetap dianggap baik. Lantas berharap, kebaikan hari ini bisa menggamit kebahagiaan esok.
Tapi, bisa juga iya. Kita mengutuki yang sudah, mencaci yang lawas. Meratapi kini hari sambil bertanya, apa yang terjadi nanti? Ah, kita pun tak tahu kapan harus mati.
Kulit yang sama. Kepala, tubuh, dan jiwa juga tak beda. Tapi kepala ini bisa membanggakan tubuh yang sama belasan tahun lalu. Kepala ini juga bisa mengutuki jiwa yang tak beda beberapa masa yang lalu. Duh, tubuh yang kini pun, bisa dicaci tubuh yang sama satu, dua, tiga, belas, dan puluhan tahun nanti.
Selengkapnya...
Sunday, November 9, 2008
Bukan Tentang Amrozi
Tulisan ini bukan tentang Amrozi cs. Tetapi, memang ingin berdiskusi tentang hukuman mati. Apakah seorang terpidana pantas mendapatkan hukuman mati? Menurut saya, negara dan hukum tidak pantas menjatuhkan hukuman mati kepada siapapun, entah dia penjahat perang, teroris, mafia, ataupun pembunuh sadis.
Hukuman mati sudah dikenal sejak ratusan tahun silam. Hukuman ini dibuat dengan filosofi dasar untuk memberikan pembalasan. Juga, untuk memberi efek jera kepada pelaku pembunuhan dan kejahatan massal. Bahkan ada negara yang menhukum mati koruptor, juga pengedar narkoba.
Saya termasuk yang memandang hukuman mati sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Setiap manusia, punya hak untuk hidup, siapapun, tanpa terkecuali. Penjahat perang, teroris, mafia, dan pembunuh sadis, memang telah merampas HAM. Tetapi menurut saya, juga tidak ada hak bagi negara untuk melakukan pelanggaran HAM yang sama.
Rasa keadilan tidak bisa diwujudkan dengan menghukum mati. Korban terorisme misalnya, memang akan puas jika Amrozi cs dihukum mati. Tetapi itu bukanlah rasa keadilan, tapi tak lebih dari kepuasan ketika dendam terbalaskan. Misalnya, ketika adik kita mati dibunuh, kita akan puas jika pembunuhnya mati. Itu dendam, bukan rasa keadilan. Tipis bedanya.
Rasa keadilan harus diwujudkan dengan menegakkan hukum, tapi tetap menegakkan prinsip HAM di sisi lain dengan konsisten. Hukuman paling berat, menurut saya, adalah penjara seumur hidup. Untuk teroris dan penjahat perang, mungkin bisa ditambah dengan isolasi total dan penghilangan sejumlah hak sebagai warga negara.
Untuk efek jera, hukuman mati tetap tidaklah efektif. Teroris tetap akan bermunculan meski hukuman mati diterapkan. Tentu memberantasnya membutuhkan solusi lain, bukan dengan hukuman mati.
Jadi, hukuman mati harus dihapus. Bukan karena kita membela teroris, penjahat perang, pengedar narkoba, atau koruptor. Tetapi negara harus dibangun atas dasar konsistensi aturan. Jika sepakat menegakkan HAM, hukuman mati harus dihapus. Karena menegakkan keadilan, berbeda dengan membalaskan dendam.
Selengkapnya...
Friday, October 24, 2008
Memanggil Lalu Berpaling
Aku sudah kembali ke Jakarta. Tak ada yang istimewa di Palembang, karena aku tak sempat menjejak di Jembatan Ampera dan menikmati Sungai Musi.
Pembicaraan dengan temanku dan mantan kekasihnya di Palembang, masih berlanjut. Dia berkisah kenapa harus berhenti menjalin kasih dengan gadis itu. "Setiap alur, kisah, mekanisme, atau apa pun, selalu punya "rem tersendiri". Dadaku hampir sesak dengan kata-kata itu.
"Ada kalanya dia menjebol, tapi lantas berhenti setelah menjebol. Ada kalanya ia terdesak, tapi lantas muak, kemudian menjebol saat terus terdesak,". Karibku itu benar-benar bikin aku tersedak.
"Seperti itulah, aku percaya, apa pun itu, melulu menjanjikan batas. Karena itu, yo sumeleh saja menjalani hidup. Aku rindu mantan teman dekatku itu, tapi ada batas, kena auto rejection dari apa yang kujalani hari ini. Tapi gak papa. Hidup memang menawarkan alternatif, yang tak terepresentasi dari kehidupan kita saat ini. Goenawan Mohamad menyebutnya "Sang Antah". Dia selalu memanggil, tapi saat itu pula dia berpaling.."
Kawanku itu tak sedang menasehatiku. Dia bercerita tentang hidupnya sendiri. Tapi ulu hatiku serasa ditusuk, dalam. Otakku, terasa diremas..
Tapi temanku itu mengirim pesan lagi. Pesan yang membangkitkan. Yang membuatku masih ingin menjaga mimpi, meski hanya segenggam. Lantas menggantungnya, dan akan kuraih nanti, entah kapan..
"Hidup itu sederhana. Pasti ada suatu asa yang memanggil, sesuatu yang tak terwakili dalam kehidupan kita saat ini. Biarkan itu mengalir. Jangan anggap sebagai utopia, karena utopia membuat kita lesu. Tapi, ya harus tetap sumeleh. Temanku pernah bertanya, apa manusia itu hanya pasrah dengan takdir Tuhan?; hanya taken for granted?. Kujawab tidak. Sumeleh iya, tapi itu harus diikuti luapan semangat. Bagiku, kita harus hidup "kepasrahan yang aktif". Dengan begitu, hidup pun terus jalan lagi; lengkap dengan luka, juga harapan.. Dengan itu pula kita menyadari, hidup ini punya batas, punya "remnya tersendiri".. Utopia memang tak mewujud secara riil, tapi ia sesungguhnya mewujud di hati: Ia sesuatu yang berharga.."
Kini temanku itu tengah bersiap berkemas. Meninggalkan Jakarta, kembali ke kota kecil impiannya. Ke tempat di mana tak ada lagi yang berpaling..
Selengkapnya...
Thursday, October 23, 2008
Mantan Kekasih..
"Selamat datang di Palembang," itu bunyi sms dari temanku yang, sebenarnya dia tengah di Jakarta. Ya. Aku hari ini memang sedang di Palembang. Ada tugas kantor. "Mainlah ke Jembatan Ampera. Aku sering membayangkan semalaman ada di Jembatan Ampera, memandangi riak Musi yang indah. Menikmati gerak pelan kapal-kapal itu.." tulis karibku tadi.
Kawanku itu memang terkesan dengan Palembang. Dulu, dulu sekali, dia pernah jatuh hati dengan gadis Palembang. Gadis itu pernah berjanji mengajaknya jalan-jalan ke Jembatan Ampera. Janji yang belum pernah terpenuhi sampai mereka berpisah.
"Jembatan itu berdiri kokoh membelah Musi yang juga membelah Palembang menjadi dua; ulu dan ilir". Temanku itu fasih menceritakan Jembatan Ampera, meski dia belum pernah ke sini. Mungkin karena mantan kekasihnya sangat pandai berkisah. Lantas kawanku tadi bercerita tentang gadis itu.
"Ia tinggal di Tegal Binangun, Plaju Darat, sebuah ”desa sepeda”. Disebut desa sepeda, karena tak ada motor di tempat itu"
Kata temanku, mantan kekasihnya selalu antusias bercerita soal Musi dan Ampera. "Ia sering pergi ke Ampera di malam hari, duduk terpekur memandangi Musi. Dari sanalah, dia menetaskan sajak-sajaknya soal cinta."
Hmm, aku selalu iri. Sangat iri dengan teman-teman yang selalu fasih menceritakan mantan kekasihnya. Bercerita dengan lapang, tenang, dan indah..
Selengkapnya...