tadi siang, saya baru saja menghadiri pesta perpisahan sri mulyani di rumah dinasnya, jalan widya chandra, jakarta. puluhan wartawan datang dari berbagai macam generasi. banyak wartawan yang tak saya kenal –karena amat tuanya, atau saking mudanya-. saya sendiri, menjadi wartawan ekonomi makro sejak medio 2005 hingga pertengahan 2009. itu artinya, saya termasuk yang turut melaporkan penanganan imbas krisis keuangan dunia 2008. saya juga menulis dan melaporkan proses bail out bank century, kebijakan yang kini membuat sri mulyani terjengkang dan meninggalkan tanah air.
saya tak akan membuat catatan berisi puja-puji terhadap sri mulyani. saya hanya ingin menjelaskan perspektif saya, sebagai wartawan (yang pernah meliput isu-isu) ekonomi makro.
ada yang bilang, wartawan ekonomi makro kurang obyektif dalam memandang sri mulyani, terutama dalam kasus bail out bank century. kami dianggap kurang berimbang dalam sudut pandang, karena terlalu menganggap sri mulyani bersih.
ketika seorang wartawan disinggung keberimbangannya, tentu akan mangkel. rasanya mungkin sama dengan seorang chef yang dikomentari masakannya terlalu asin.
saya, dan kebanyakan dari kami, para wartawan ekonomi makro, bukanlah “pendukung” sri mulyani. silakan baca laporan-laporan kami, karena google tak pernah menyembunyikan catatan. soal kebijakan, kami tak pernah lelah mengkritik. soal utang misalnya, meskipun lsm macam koalisi anti utang itu amburadul sekali datanya, kami tetap mengutip, demi keberimbangan. kami juga tetap kritis untuk isu-isu polesan pemerintah seperti angka kemiskinan dan pengangguran. meski kami sadar penerimaan pajak jauh melejit saat lapangan banteng dipimpin sri mulyani, kami juga kerap dengan sengaja mencari-cari celah buruknya.
tapi soal krisis keuangan 2008 dan bail out century?
krisis keuangan dunia 2008.
selain melakukan sejumlah langkah, kepentingan pemerintah, yang saat itu di bidang ekonomi dipimpin sri mulyani, adalah menenangkan masyarakat. kepentingan media, jujur-jujur saja lah, kebanyakan menampilkan berita-berita bombastis. kepentingan pengamat dan oposisi, mengkritik pemerintah agar tampak kedodoran dalam mengatasi krisis. saya tahu kok, siapa-siapa pengamat dan anggota dpr yang kala itu rajin mengembuskan isu sekian bank mau bangkrut lah, likuiditas bank-bank besar tengah lampu merah lah. muncul pula kabar bahwa pemerintah dan bank indonesia sudah habis-habisan menggerojok duit, yang itu artinya, negara sedang gawat.
ketika kami bertanya ke sri mulyani tentang kebenaran kegawatan ekonomi itu, kala itu, tentu saja ia akan bilang bahwa ekonomi baik-baik saja. dan kami tentunya, tak akan percaya begitu saja. berita-berita saya, kala itu, tak jauh dari kata “terpuruk”, “anjlok”, “limbung”, “panik” dan kata-kata negatif lainnya. hingga suatu saat saya ditelp editor, agar mengurangi kata-kata negatif yang bombastis. berita kepanikan nasabah bank century juga tidak dimuat besar-besar, agar tak menimbulkan persepsi negatif yang tak perlu. “berita bombastis memang membuat koran kita laku. tapi kalau ekonomi terpuruk, pendapatan iklan turun, koran kita juga kena”.
belakangan kita tahu, hembusan isu dari para pengamat dan anggota dpr itu memang benar adanya. kala itu, memang banyak bank yang hampir limbung. saat ekonomi sudah pulih, pemerintah akhirnya mengakui kegawatan ketika itu. bedanya, saat ini, para pengamat dan anggota dpr yang dulu mengembuskan isu-isu negatif, berbalik arah dengan mengatakan tak ada kegawatan di akhir 2008.
saya, bisa paham mengapa sri mulyani berbohong di akhir 2008 dengan mengatakan ekonomi baik-baik saja.
tapi maaf, saya tak bisa paham, mengapa para pengamat dan anggota dpr itu mengingkari hembusan isu yang dulu terucap dari mulut mereka.
bail out bank century.
saya tak ingin berdebat tentang salah-benar kebijakan bail out. saya dari awal hanya tak ingin naif dan pura-pura bodoh dengan menganggap pengungkapan kasus oleh parlemen adalah upaya mencari kebenaran. itu saja.
karena saya menyaksikan, bagaimana kemunafikan itu terjadi dengan penolakan atas perpu jarring pengaman sistem keuangan yang tidak tegas dengan menggunakan diksi “belum bisa menerima”. penolakan tidak tegas karena pemilu belum digelar, dan tak ada yang berani melawan susilo bambang yudhoyono.
laporan keuangan lembaga penjamin simpanan yang memuat jumlah dana talangan ke bank century juga sudah muncul mei 2009. tapi, lagi-lagi, pemilihan presiden belum dimulai. belum ada kejelasan kongsi. agustus 2009 baru dihajar. targetnya tunggal, sri mulyani.
ini bukan soal setuju atau tidak setuju dengan bail out bank century. ini soal bagaimana akal sehat tidak boleh berpura-pura bodoh dengan melihat semua proses ini hanya “demi kebaikan” saja.
saya, juga sebagian dari kami, dianggap kurang berimbang karena dianggap tidak mengenal para politisi dpr. justru, kami lebih mengenal para politisi dpr itu, jauh sebelum mereka menjadi masyhur karena sekarang acap tampil di televisi. kami mengenal bambang soesatyo jauh sebelum ia menjadi selebritis-politisi. nama-nama lain, tak perlu disebut.
justru kami, terutama para wartawan yang baru mengenal sri mulyani saat menjadi pejabat, tak pernah dekat secara personal. kami justru orang yang krap sebal karena sri mulyani yang sangat moody dalam berkomentar. kami juga kerap marah karena sri mulyani selalu menilai media kurang berimbang dalam memberitakan kebijakan-kebijakan pemerintah.
tapi, kami tetap menghargai dan menghormati sri mulyani.
kami menghargai, bukan karena ia selalu ramah kepada kami.
kami menghargai, bukan karena kami setuju dengan semua kebijakan ibu tiga anak ini.
kami menghargai dan menghormati, karena ia punya integritas tinggi (*)
13 mei 2010
hidup hanya sekali. agar tak ragu dengan yang kita pilih, berbuatlah salah berkali-kali.
Thursday, May 13, 2010
sri mulyani
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
pendapat yang lugas, dan juga sekaligus personal.. kita doakan saja ibu sri mulyani indrawati bisa "rehat" sejenak dari kondisi karut-marut di indonesia yang memojokkan dirinya.. dan berharap dia menepati janjinya, "ke jakarta aku kan kembali.." :)
ReplyDelete