Sunday, July 19, 2009

Bom Lagi

17 Juli 2009
Hari ini kita dikejutkan lagi dengan ledakan bom di Ritz Carlton dan JW Mariott, dua hotel favorit para ekspat. Meski kerap terjadi pemboman di tanah air, tetap saja membuat kita terkejut. Lebih kaget lagi kalau anda sudah bersusah payah beli tiket MU, akhirnya harus gigit jari karena mereka batal ke sini.
Sekitar jam 9 pagi, saya mendapat informasi kalau Pak Beye segera ke lokasi pengeboman. Saya pun meluncur ke Mega Kuningan, dengan jasa abang ojek dekat kontrakan saya. Sambil memacu motornya, si abang ojek menyorongkan pisau analisisnya. ”Paling itu Prabowo mas,” ujar abang ojek.

Saya tak ingin banyak menanggapi. Saya lebih awas memperhatikan hape, siapa tahu ada perubahan jadwal dari Pak Beye. Benar saja. Pas di mulut Mega Kuningan, masuk lagi SMS ke hape saya, mengabarkan kalau Pak Beye tak jadi ke lokasi. Pak Beye langsung ngomong di Istana.

Sampai di Istana, ternyata Pak Beye sedang menggelar rapat mendadak. Ada Pak Widodo Menko Polhukam yang sudah datang lebih dulu. Pak Hatta Mensesneg, Pak Sudi Menseskab, dan Pak Nuh Menkominfo juga sudah datang. Pak BHD Kapolri datang belakangan. Pak Djoko Panglima masih di Magelang. Nanti agak siang baru datang.
Sudah hampir jam 11, rapat belum mulai. Tempat konpers dipindah ke luar, pas di lapangan rumput. Mulanya menggunakan latar Istana Merdeka. Eh, black light. Diubah lagi dengan latar belakang Istana Negara. Rapat dimulai sekitar 11.15. Nah, sudah mau jumatan. Menjelang jumat, Bang Andi Jubir mengabarkan konpers baru digelar jam 14, setelah jumatan.

Sehabis salat jumat, saya merapalkan doa paling kilat. Cuma doa pengin selamat dunia akhirat amien saja. Eh, Pak Beye sudah jalan keluar masjid. Saya harus pakai kaus kaki dan sepatu, Pak Beye langsung pakai sandal. Pak Beye salat di baris depan, Saya di baris belakang. Tapi, selesainya tetap lebih cepat Pak Beye. Cepat amat ya doanya Pak?

Sehabis jumatan dan makan siang, saya ngobrol dan becanda sejenak dengan kawan-kawan wartawan. Banyak yang kami obrolkan. Mulai dari perdebatan pemeran Megan Fox di Transformer RoF itu laki-laki atau perempuan, sampai mereka-reka apa yang mau diungkapkan Pak Beye. Sambil, meniru gaya khasnya tentu.

Sampai akhirnya, kami melihat Pak Nuh sudah keluar ruang rapat, menuju lapangan yang akan dipakai konpers. Oh iya, set podiumnya sudah diubah lagi. Kali ini, set latarnya Kantor Presiden. (Buat yang belum tahu bedanya Istana Merdeka, Istana Negara, dan Kantor Presiden, nanti saya bikinkan tulisan khusus. Tapi nanti banget ya, Saya juga belum genap dua minggu liputan di Istana. Masih untung deskripsi di atas tidak keliru. Hehe)

Sampai mana tadi? Pak Nuh. Oh iya Pak Nuh. Dari jauh saya sudah melihat Pak Nuh komat-kamit. Waduh, bisa kebobolan berita ini. Saya bergegas mendekat ke Pak Nuh. Dan sayup-sayup.. “Teve yang live berapa. TV One dan TVRI. SCTV kok enggak live?”. Oh, ternyata Pak Nuh cuma mengecek berapa teve yang live. Lalu, Pak Nuh masuk lagi ke ruang rapat.

Setelah Pak Nuh, Bang Andi mengecek lagi kesiapan kami, terutama teve. Lalu, Pak Djoko datang dengan tiga kepala staf angkatannya. Mereka berempat gagah sekali. Maklum, mereka baru ada acara di Magelang. Jadi masih pakai seragam paling lengkap. Sehabis Pak Djoko datang, Pak Beye akhirnya keluar.
Ternyata, apa yang dipidatokan Pak Beye benar-benar di luar dugaan saya. Pak Beye langsung menyebut aksi bom sebagai teroris. ”Meskipun belum tentu jaringan terorisme yang kita kenal selama ini,”. Pikiran saya langsung ke pisau analisa abang ojek tadi...

Lalu Pak Beye menyebut ancaman kekerasan pasca Pilpres. Di tengah-tengah pidato, Pak Beye bergumam, “foto-foto”, lalu salah satu ajudan mengambil empat lembar foto dari dalam ruang rapat. Pak Beye lalu memamerkan foto-foto itu. Bukan sulap, bukan sihir. Eh, bukan gosip bukan isu. Begitu kata Pak Beye. Itu foto latihan perang-perangan. Sasarannya bukan sebarangan, foto Pak Beye.

Praktis, konpers Pak Beye tentang bom, justru didominasi dengan buka-bukaan tentang ancaman Pemilu. Bahkan, mengutuk pengebom pun dengan cara yang mengagetkan. ”Barangkali, ada di antara kita, yang di waktu yang lalu melakukan kejahatan, membunuh, menghilangkan orang barangkali, dan para pelaku itu masih lolos dari jeratan hukum, kali ini negara tidak boleh membiarkan mereka menjadi drakula, dan penyebar maut di negeri kita.”

Waduh, lalu apa hubungannya dengan bom? Apa benar pisau analisis abang ojek tadi? Sampai akhirnya, di teve, Pak BHD bilang kalau kemungkinan kuat ada indikasi bom bunuh diri. Nah lo. Mana ada orang kecewa jagonya kalah di Pemilu sampai mau ngebom diri? Tim sukses yang kalah, mana mau disuruh ngebom diri? Kali ini, saya yakin seyakin-yakinnya, analisis abang ojek pasti salah...

Semoga Pak BHD bisa cepat bisa mengungkap. Katanya, pengebom sempat menginap. Kalau menginap, pasti susah memasukkan bahan bom. Harus sedikit demi sedikit. Ada yang bilang, paling tidak harus menginap 3 hari untuk bisa memasukkan semua bahan bom. Kalau menginap tiga hari, pasti butuh duit tak sedikit. Membayar tunai untuk menginap tiga hari di Mariott juga tak umum. Karena, depositnya pasti bisa berlipat dibanding tarif tiga malam. Masak menginap di Mariott tak pakai kartu kredit?

Atau, oke lah bayar pakai tunai. Masih ada copy KTP atau Paspor kalau kita menginap di hotel manapun. KTP bisa dipalsu? Bisa didatangi pemalsu KTP, kan polisi juga sudah tahu jaringannya? Jadi, lebih cepat lebih baik lah Pak. Asal jangan lebih cepat mengeruhkan suasana..
Selengkapnya...

Friday, July 10, 2009

Pamer Telepon

Malam itu (9/7), pendopo rumah Pak Beye masih terus didatangi banyak tamu. Maklum. Ada gula, ada semut. Kekuasaan membuat banyak orang menyemut. Eh. Ada rombongan dari organisasi pemuda berinisial KNPI. Mereka pengin mengucap selamat, tapi tak kunjung dapat giliran. Tiba-tiba, salah satu dari mereka minta diwawancara televisi. Dan jadilah. Mungkin kunjungan itu tak penting bagi dia. Yang penting nampang di teve dan menunjukkan kalau sudah mendukung Pak Beye.

Ah, televisi. Masih di malam itu, tiba-tiba Choel Mallarangeng, pentolan Fox Indonesia, mengetok-ngetok pengeras suara di pendopo. Lagaknya seperti teknisi speaker. Tiba-tiba, "Dalam dua menit ke depan, presiden terpilih akan memberi keterangan pers. Breaking news. Teve yang bawa SNG, siapkan dalam dua menit untuk live. Akan ada surprise. Surprise pokoknya. Sangat layak untuk breaking news," kata Choel, dengan suara baritonnya. Kali ini, ia berlagak seperti produser berita televisi.

Satu menit, dua menit, tiga menit, empat menit,.. ah, Pak Beye akhirnya muncul di pendopo. Pak Boed yang baru tiba di Jogja mengekor di belakang, sambil menunduk takzim. Pak Beye tak langsung ngomong. Masih senyum-senyum membingungkan. Lantas, dia menyambar telepon genggamnya, dan...

"Apa kabar Pak Jusuf?"...

(oh, ternyata JK di seberang sana)

"Terima kasih, terima kasih"

(wah, JK mengucap selamat ya)

"Sebagaimana yang kita bicarakan, walaupun dalam suasana kompetisi,tetap kita jalin silaturahmi. Kita beri contoh, lanjutkan pelaksanaan tugas. Kita bertugas untuk langkah selanjutnya ke depan. Tadi saya sampaikan, sidang kabinet paripurna Selasa aktif lagi kerja sampai 20 Oktober. Pak Jusuf, sejarah catat jasa Anda besar sekali, teruskan apa yang menjadi amanah kita berdua. Insya Allah ada jalannya. Negara masih membutuhkan Pak JK, apa pun peran Pak Jusuf nanti. Kami menunggu sesuai dengan pilihan Pak JK. Saya senang Pak JK kalau masih bisa mendarmabaktikan diri untuk negara. Kita bicarakan berdua nanti. Sampai ketemu, salam untuk keluarga"

Wah, ini yang kasih selamat siapa, yang ngomong banyak siapa ya? Seumur-umur, baru kali ini saya menyaksikan orang bertelepon disiarkan live melalui televisi. Kalau direkam lalu disiarkan, sudah biasa. Hah.
Selengkapnya...

Thursday, July 2, 2009

Polesan Amerika

Raden Pardede, sampai berlari kecil di lobi hotel Bali Intercontinental. Tahu Raden kan? Ia Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan, pernah jadi calon (penggembira) Gubernur BI bersama Dirut Mandiri Agus Martowardojo yang akhirnya ditolak parlemen. Kini ia ikut riwa-riwi kampanye Cawapres Boediono.

Raden mengejar Rizal Mallarangeng, konsultan politik dari Fox Indonesia yang bertugas memoles Cawapres Boediono. Ia adik Andi Mallarangeng. Kakaknya Choel Mallarangeng, pentolan Fox Indonesia, lembaga paling berkuasa di republik ini, karena bisa mengatur-atur presiden.

"Cel!", teriak Raden. Ia tak berucap apa-apa selain memanggil Celi, sapaan Rizal. Tapi, tangannya menarik bajunya sendiri. Dalam hati ia pengin bilang, "Ganti kausnya Cel". Ya. Celi memang ingin konpers di depan banyak kamera televisi. Tapi, ia sedang pakai kaus dengan bendera Amerika Serikat yang tersablon jelas.

"Gua ganti dulu ya. Masak kalian tega ambil gambar gua pakai ini," ujar Celi kepada kameraperson televisi. Haha. Ia takut juga disangka terlalu ke Amerika-amerikaan. Maklum, Fox Indonesia banyak mengadopsi kampanye gaya Amerika di kampanye-kampanye SBY dan Boediono.

***
Dengan gaya Amerika, kampanye tak perlu massa besar. Cukup sewa ruangan tertutup berkapasitas 1.000 orang. Peserta kampanye diatur, dipoles. Posternya juga sudah diseragamkan. Kampanye ala itu, cukup mengandalkan media, terutama televisi.

Tak hanya itu, Fox juga menjadi konsultan politik yang mengatur semua tetek bengek kampanye. Tak heran, jika partai-partai pendukung SBY-Boediono mulai tak nyaman dengan cara ini. Bayangkan. Petinggi-petinggi parpol, kini saat kampanye, kerjaannya hanya datang dan dipajang. Untuk ke bandara saja, mereka harus menunggu perintah si konsultan-konsultan itu.....

Eh, ada lagi yang mirip-mirip Amerika. Saat Boediono kampanye, ada lima anggota kepolisian yang didandani pakaian serbahitam, kacamata hitam, lengkap dengan earphone kecil di salah satu telinga. Lagaknya sudah melebihi Paspampres, dan kelihatan sekali pengin mirip Secret Service. "Ah, paling kalau ketemu Paspampres beneran juga mengkeret," kata rekan saya.
Selengkapnya...

Baliberalisme

"Bali adalah contoh sukses bagaimana kita menghadapi dan memanfaatkan globalisasi"
Cawapres Boediono meneriakkan itu dalam kampanyenya di Denpasar, Bali, Minggu (28/6). Ia beralasan, meski banyak orang asing berdatangan, Bali tetap mampu mempetahankan budaya dan tradisi.

Soal mempertahankan tradisi, Bali memang jagonya. Tapi apa benar itu menjadi indikator kesuksesan menghadapi globalisasi? Bagi saya, Bali, justru satu simbol kegagalan globalisasi dalam meninggikan keadilan. Bali juga menjadi contoh telanjang dari neoliberalisme.

Memang, banyak turis asing datang ke Bali. Banyak dolar yang mereka belanjakan di pulau yang indah itu. Kita pun kalau datang ke Bali juga tak ragu menguras isi dompet. Tapi, rakyat Bali hanya mereguk sedikit. Hotel-hotel berbintang, dikuasai asing. Begitu juga tempat hiburan. Rakyat Bali? Kebanyakan hanya menjadi pekerja kelas bawah. Mereka melihat kenikmatan dengan mata telanjang, tapi tak bisa turut mengecapnya. Saat kita membayar ratusan ribu untuk makan, hanya sebagian kecil yang mengalir ke rakyat Bali. Jadi, mana yang disebut sukses?

Tadi siang, saya makan siang di Hotel Bali Intercontinental, ditraktir tim kampanye Boediono. Saya pesan menu "beef rendang". Lidah saya langsung berontak saat mencicip rendang itu. Tak sedap bumbunya. Lalu saya menoleh, dan tahu kalau sang chef adalah seorang bule. Hah, masak rendang saja kok harus pake chef bule!

O iya. Sebelum makan, di lobi, saya cari colokan listrik untuk laptop. Duh, colokannya bukan standar Indonesia...
Selengkapnya...