Sunday, June 21, 2009

Bersama Saya, Indonesia Jauh Lebih Baik*

Insya Allah, 8 Juli nanti saya akan memilih Capres No 3.
Tulisan (berisi pidato imajiner) ini memang pro Capres No 2. Saya sengaja membuat tulisan dengan sudut pandang yang berseberangan dengan pilihan politik saya. Buat pendukung Capres No 1 dan 3, silakan mendebat tulisan ini. Jika argumentasi Anda masih kurang pas, akan tetap saya sanggah:) Tulisan ini dibuat, agar bagi pendukung No 1 dan 3, benar-benar mantap menentukan pilihannya. Tulisan ini mengandaikan Saya adalah SBY.


Bersama Saya, Indonesia Jauh Lebih Baik*

Saudara-Saudara, sebangsa dan setanah air,

Sebagai Capres incumbent, saya mendapatkan serangan bertubi-tubi dari banyak pihak. Banyak hal negatif ditudingkan kepada saya. Memang, saat musim kampanye, isu sensitif banyak diungkap. Mulai dari utang, modal asing, hingga isu yang lebih banyak bersifat jargon dan pelabelan seperti neoliberalisme vs ekonomi kerakyatan. Saya hanya ingin menjelaskan semuanya apa adanya. Serta, mendudukkan masalah pada tempatnya.

Banyak yang menyerang saya dengan isu utang. Memang benar, selama masa kepemimpinan saya, jumlah utang secara nominal lebih besar dibanding pemerintahan sebelumnya. Tapi, perkenankan saya menjelaskannya. Penambahan utang selama pemerintahan saya, bukan berasal dari utang luar negeri. Utang luar negeri yang neto kita, jauh lebih kecil dibandingkan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Sejak 2004, utang luar negeri yang kita tarik, jauh lebih kecil dibanding yang kita bayarkan. Sehingga, di APBN, utang luar negeri kita negatif. Tahun 2004 negatif Rp 28 triliun, 2005 negatif Rp 10 triliun, 2006 negatif Rp 27 triliun, 2007 negatif Rp Rp 24 triliun, 2008 negatif Rp 11 triliun, dan 2009, Insya Allah negatif Rp 14 triliun.

Jadi, penambahan utang kita lebih banyak dari Surat Berharga Negara (SBN). Sejak 2005, SBN memang menjadi instrumen utama pembiayaan APBN. Sebagian kalangan bertanya, mengapa jumlahnya begitu besar? Bukankah bunganya, yang akan menjadi beban pemerintah, bisa jauh lebih mencekik? Sekali lagi, perkenankanlah saya untuk menjelaskan juga, duduk masalahnya.

Memang, saya akui, jumlah SBN yang kita terbitkan cukup besar. Tapi, pemerintah telah berusaha seefisien mungkin, secermat mungkin, menghitung, semua beban utang yang bisa kita tanggung. Kalau kita lihat, penerbitan SBN kita jauh meningkat pada 2008 dan 2009. Pada 2008 kita menerbitkan neto Rp 85,9 triliun dan 2009 Rp 54,7 triliun. Penerbitan kita cukup besar, karena kita perlu me-refinancing obligasi-obligasi kita. Mungkin kita masih ingat, pada tahun 1998, di masa Pak Habibie, penerbitan obligasi (untuk rekap bank) mencapai Rp 100 triliun. Itu harus kita bayar pada 2008 sekarang. Jadi, kita membutuhkan banyak dana untuk refinancing obligasi kita itu. Kita juga masih ingat, tahun 2000, di era Ibu Mega, kita menerbitkan obligasi yang lebih besar, yakni Rp 150 triliun. Itu ada yang utang jangka pendek. Alhamdulillah kita berhasil menjadwalkan kembali di tahun 2000, untuk dialihkan di 2008 dan 2009, dan kita bayar. Itu beban dari krisis 1997-1998 yang kita tanggung bersama hingga sekarang.
Sebagian kita bayar dengan obligasi, tapi dengan jangka yang lebih panjang, bahkan hingga 30 tahun ke depan. Anda bayangkan, utang Rp 1 juta sekarang, tidak akan ada nilainya pada 30 tahun mendatang. Jadi tidak benar, jika kita dianggap terlalu mengobral penerbitan obligasi negara. Justru, kita mengelolanya dengan lebih baik, dan yang paling penting, transparan.

Saudara-saudara. Ke depan, pembiayaan dari utang memang lebih kita arahkan dari penerbitan Surat Berharga Negara. Karena apa? Karena itu lebih mencerminkan potensi dalam negeri kita. Memang, dana swasta asing juga besar. Tapi masih lebih besar dana-dana masyarakat yang disimpan di bank, asuransi, dan dana pensiun. Itu dana rakyat kita yang dipinjamkan ke negara, kita manfaatkan untuk pembangunan, dan manfaatnya kembali kepada rakyat kita.

Banyak yang bilang, bunga utang melalui obligasi kelewat besar. Tapi nanti dulu. Bunga yang kita bayarkan memang lebih besar dibandingkan utang luar negeri. Tapi biaya yang kita pikul, baik secara ekonomis maupun politis, jauh lebih kecil. Secara politis, kita tidak lagi didikte oleh negara kreditur. Secara ekonomis, biaya utang jauh lebih efisien. Meski bunga lebih tinggi, tapi kita bisa menggunakan dana itu, sesuai dengan prioritas pembangunan kita. Berbeda dengan utang proyek luar negeri. Kita tahu, utang semacam itu, yang dikembangkan di pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, mensyaratkan proyek tertentu yang disetujui kreditur. Pemberi pinjaman juga menentukan siapa pelaksana proyeknya, teknologinya, alat-alatnya, serta sumber daya manusianya. Jadi, begitu kita mengutang Rp 100 misalnya, uang itu sudah langsung kembali ke negara kreditur dalam bentuk pembelian produk mereka, menggaji konsultan dari mereka, dan sebagainya. Akibatnya, biaya tidak terkontrol oleh kita, tenaga kerja dari kita tidak cukup besar terserap, dan anak-anak negeri kita tidak bisa mengaplikasikan teknologinya. Alhamdulillah, sejak 2007, utang proyek kita jauh berkurang. Kalaupun utang dari luar negeri, kita lebih memilih utang program, yakni utang yang tidak didasarkan pada proyek tertentu. Sekali lagi, pengelolaan utang kita, jauh lebih efisien, dan jauh lebih transparan.

Saudara-saudara. Ada yang bilang, kita lebih pro asing. Saya tidak habis pikir dengan ungkapan itu. Bahwa kita, sejak jaman mantan presiden Soeharto menganut ekonomi terbuka, sehingga membuat asing leluasa masuk, memang benar. Tapi justru di bawah kepemimpinan saya, segalanya diatur jelas. Ada Daftar Negatif Investasi. Itu daftar yang membatasi setiap pemodal asing dengan porsi yang kita inginkan. Kita yang mengatur. Bukan mereka. Ada sektor-sektor yang bisa dimasuki asing, ada pula yang tidak. Sektor strategis seperti telekomunikasi misalnya, kita batasi hingga 65 persen, tak boleh lebih. Transportasi, kita batasi tak boleh lebih dari 51 persen. Aturannya jelas.

Hal penting lain, yang membuat mengapa kita harus melanjutkan kerja keras kita bersama, adalah, kita harus terus menjamin terlaksananya tatakelola pemerintahan yang baik. Tatakelola itu bukan hanya angan-angan. Ia harus dilaksanakan oleh orang yang berani, tegas, serta bebas dari konflik kepentingan. Reformasi birokrasi telah kita jalankan. Misalnya, kita semua tahu, di tubuh Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai, dua instansi yang bertugas menjamin penerimaan negara tercapai maksimal, telah terjadi revolusi senyap di sana. Strukturnya dirombak. Sumber daya manusianya dibenahi. Penyalahgunaan wewenang, meski kita tidak menutup mata masih ada bolong di sana-sini, sudah jauh, jauh berkurang. Itu pulalah yang membuat penerimaan negara jauh meningkat dibanding pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Peningkatan penerimaan negara ini, adalah kunci kemandirian bangsa. Omong kosong jika kita ingin membuat bangsa mandiri, tapi aparat-aparatnya tidak dibenahi.

Saudara-saudara. Bangsa ini sudah berada dalam jalur yang tepat untuk bangkit. Memang tak bisa langsung memenuhi keinginan semua kalangan. Tapi fondasi untuk bangkit telah kita bangun. Dan kita, akan melanjutkannya bersama. Semoga Allah merahmati kita semua.
*Pidato Imajiner SBY.
Selengkapnya...